MUQODIMAH

إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا، ومن سيئآت أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمداً عبده ورسوله، صلى الله عليه وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدي Assalamu'alaikum, Marhaban Ya Ikhwan ..... Antum Saat Ini Sedang Mengunjungi Blog Pribadinya Abu Abdurrahman Al-Bantani. Untuk Komentar ... Saran ... Kritik ... Serta Informasi Kajian Di Tempat Antum Semua Silahkan Kirim Ke (muhammad.irfan09@gmail.com) Semoga Allah Memberikan Kebaikan Kepada Antum Dan Kami ... Barakallahu Fiekum.

Jumat, 19 Agustus 2011

FIQIH RINGKAS I'TIKAF DI BULAN RAMADHAN


DEFINISI I'TIKAF

Secara literal (lughatan), kata “الاعْتِكاف” berarti “الاحتباس” (memenjarakan)[1]. Ada juga yang mendefinisikannya dengan:

حَبْسُ النَّفْسِ عَنْ التَّصَرُّفَاتِ الْعَادِيَّةِ

“Menahan diri dari berbagai kegiatan yang rutin dikerjakan” [2].

Dalam terminologi syar’i (syar’an), para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan i’tikaf dikarenakan perbedaan pandangan dalam penentuan syarat dan rukun i’tikaf[3]. Namun, kita bisa memberikan definisi yang umum bahwa i’tikaf adalah:

الْمُكْث فِي الْمَسْجِد لعبادة الله مِنْ شَخْص مَخْصُوص بِصِفَةٍ مَخْصُوصَة

“Berdiam diri di dalam masjid untuk beribadah kepada Allah yang dilakukan oleh orang tertentu dengan tata cara tertentu” [4].

Dalil Pensyari’atan

I’tikaf disyari’atkan berdasarkan dalil dari Al Quran, sunnah, dan ijma’. Berikut dalil-dalil pensyari’atannya.

Dalil dari Al Quran

a. Firman Allah ta’ala,

وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ

“Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud.” (Al Baqarah: 125).

b. Firman Allah ta’ala,

وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.” (Al Baqarah: 187).

Penyandaran i’tikaf kepada masjid yang khusus digunakan untuk beribadah dan perintah untuk tidak bercampur dengan istri dikarenakan sedang beri’tikaf merupakan indikasi bahwa i’tikaf merupakan ibadah.[5]

Dalil dari sunnah

a. Hadits dari Ummu al-Mukminin, ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hingga beliau wafat, kemudian para istri beliau beri’tikaf sepeninggal beliau.”[6]

b. Hadits dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.”[7]

Dalil Ijma’

Beberapa ulama telah menyatakan bahwa kaum muslimin telah berijma’ bahwa i’tikaf merupakan ibadah yang disyari’atkan. Diantara mereka adalah:

a. Ibnul Mundzir rahimahullah dalam kitab beliau Al Ijma’. Beliau mengatakan,

وأجمعوا على أن الاعتكاف لا يجب على الناس فرضا إلا أن يوجبه المرء على نفسه فيجب عليه

“Ulama sepakat bahwa i’tikaf tidaklah berhukum wajib kecuali seorang yang bernadzar untuk beri’tikaf, dengan demikian dia wajib untuk menunaikannya.”[8]

b. An Nawawi rahimahullah mengatakan,

فالاعتكاف سنة بالاجماع ولا يجب إلا بالنذر بالاجماع

“Hukum i’tikaf adalah sunnah berdasarkan ijma dan ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak berhukum wajib kecuali seorang yang bernadzar untuk beri’tikaf.”[9]

c. Al Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah mengatakan, “I’tikaf tidaklah wajib berdasarkan ijma’ kecuali bagi seorang yang bernadzar untuk melakukan I’tikaf.”[10]

HUKUM I'TIKAF

Hukum asal i’tikaf adalah sunnah (mustahab) berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

إِنِّى اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ لِى إِنَّهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ ». فَاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ

“Sungguh saya beri’tikaf di di sepuluh hari awal Ramadhan untuk mencari malam kemuliaan (lailat al-qadr), kemudian saya beri’tikaf di sepuluh hari pertengahan Ramadhan, kemudian Jibril mendatangiku dan memberitakan bahwa malam kemuliaan terdapat di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Barangsiapa yang ingin beri’tikaf, hendaklah dia beri’tikaf (untuk mencari malam tersebut). Maka para sahabat pun beri’tikaf bersama beliau.”[11]

Dalam hadits di atas, nabi memberikan pilihan kepada para sahabat untuk melaksanakan i’tikaf. Hal ini merupakan indikasi bahwa i’tikaf pada asalnya tidak wajib.

Status sunnah ini dapat menjadi wajib apabila seorang bernadzar untuk beri’tikaf berdasarkan hadits ‘Aisyah, beliau mengatakan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ

“Barangsiapa bernadzar untuk melakukan ketaatan kepada Allah, dia wajib menunaikannya.”[12]

‘Umar radhiallahu ‘anhu pernah bertanya kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai rasulullah! Sesungguhnya saya pernah bernadzar untuk beri’tikaf selama satu malam di Masjid al-Haram.” Nabi pun menjawab, “Tunaikanlah nadzarmu itu!”[13]

Al Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan, “I’tikaf tidaklah wajib berdasarkan ijma’ kecuali bagi seorang yang bernadzar untuk melakukan I’tikaf.”[14][15]

Pertanyaan

Bagaimanakah hukum i’tikaf bagi wanita ?

Jawab

Dalam permasalahan ini terdapat dua pendapat ulama.

Pendapat pertama adalah pendapat jumhur yang menyatakan itikaf dianjurkan juga bagi wanita sebagaimana dianjurkan bagi pria. Dalil bagi pendapat pertama ini diantaranya adalah:

  • Keumuman berbagai dalil mengenai pensyari’atan i’tikaf yang turut mencakup pria dan wanita. Asalnya, segala peribadatan yang ditetapkan bagi pria, juga ditetapkan bagi wanita kecuali terdapat dalil yang mengecualikan.
  • Firman Allah ta’ala,

    كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ

    “Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab…” (Ali ‘Imran: 37).

  • dan firman-Nya,

    فَاتَّخَذَتْ مِنْ دُونِهِمْ حِجَابًا

    “Maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka…” (Maryam: 17).
    Ayat ini memberitakan bahwa Maryam telah membaktikan dirinya untuk beribadah dan berkhidmat kepada-Nya. Dia mengadakan tabir dan menempatkan dirinya di dalam mihrab untuk menjauhi manusia. Hal ini menunjukkan bahwa beliau beri’tikaf. Meskipun perbuatan Maryam itu merupakan syari’at umat terdahulu, namun hal itu juga termasuk syari’at kita selama tidak terdapat dalil yang menyatakan syari’at tersebut telah dihapus.

  • Hadits Ummul Mukminin, ‘Aisyah dan Hafshah radhiallahu ‘anhuma, yang keduanya memperoleh izin untuk beri’tikaf sedang mereka berdua masih dalam keadaan belia saat itu.[16]

Pendapat kedua menyatakan bahwa i’tikaf dimakruhkan bagi pemudi. Dalil yang menjadi patokan bagi pendapat ini diantaranya adalah sebagai berikut:

  • Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu yang menerangkan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk melepas kemah-kemah istrinya ketika mereka hendak beri’tikaf bersama beliau[17]
  • Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

    لَوْ أَدْرَكَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مَا أَحْدَثَ النِّسَاءُ لَمَنَعَهُنَّ كَمَا مُنِعَتْ نِسَاءُ بَنِى إِسْرَائِيلَ

    “Seandainya rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui apa kondisi wanita saat ini tentu beliau akan melarang mereka (untuk keluar menuju masjid) sebagaimana Allah telah melarang wanita Bani Israil.”[18]

Pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur yang menyatakan bahwa i’tikaf juga disunnahkan bagi wanita berdasarkan beberapa alasan berikut:

  • Berbagai dalil menyatakan bahwasanya wanita juga turut beri’tikaf dan tidak terdapat dalil tegas yang menerangan bahwa pemudi dimakruhkan untuk beri’tikaf.
  • Hadits ‘Aisyah yang menyatakan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk melepas kemah para istri beliau ketika mereka beri’tikaf bukanlah menunjukkan ketidaksukaan beliau apabila para pemudi turut beri’tikaf. Namun, motif beliau memerintahkan hal tersebut adalah kekhawatiran jika para istri beliau saling cemburu dan berebut untuk melayani beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu, dalam hadits tersebut beliau mengatakan, “Apakah kebaikan yang dikehendaki oleh mereka dengan melakukan tindakan ini?”. Akhirnya beliau pun baru beri’tikaf di bulan Syawwal.
  • Hadits ‘Aisyah ini justru menerangkan bolehnya pemudi untuk beri’tikaf, karena ‘Aisyah dan Hafshah di dalam hadits ini diizinkan nabi untuk beri’tikaf dan pada saat itu keduanya berusia belia.
  • Adapun perkataan ‘Aisyah yang menyatakan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan melarang wanita untuk keluar ke masjid apabila mengetahui kondisi wanita saat ini, secara substansial, bukanlah menunjukkan bahwa i’tikaf tidak disyari’atkan bagi pemudi. Namun, perkataan beliau tersebut menunjukkan akan larangan bagi wanita untuk keluar ke masjid apabila dikhawatirkan terjadi fitnah.


HIKMAH I'TIKAF

Seluruh peribadatan yang disyari’atkan dalam Islam pasti memiliki hikmah, baik itu diketahui oleh hamba maupun tidak. Tidak terkecuali ibadah i’tikaf ini, tentu mengandung hikmah. Hikmah yang terkandung di dalamnya berusaha diuraikan oleh imam Ibn al-Qayyim rahimahullah dalam kitab beliau Zaadul Ma’ad[19]. Beliau mengatakan, Kebaikan dan konsistensi hati dalam berjalan menuju Allah tergantung kepada terkumpulnya kekuatan hati kepada Allah dan menyalurkannya dengan menghadapkan hati secara total kepada-Nya, -karena hati yang keruh tidak akan baik kecuali dengan menghadapkan hati kepada Allah ta’ala secara menyeluruh-, sedangkan makan dan minum secara berlebihan, terlalu sering bergaul, banyak bicara dan tidur, merupakan faktor-faktor yang mampu memperkeruh hati, dan semua hal itu bisa memutus perjalanan hati menuju kepada-Nya, atau melemahkan, menghalangi, dan menghentikannya.

(Dengan demikian), rahmat Allah yang Maha Perkasa dan Maha Penyayang menuntut pensyari’atan puasa bagi mereka, yang mampu menyebabkan hilangnya makan dan minum yang berlebih.

(Begitupula) hati yang keruh tidak dapat disatukan kecuali dengan menghadap kepada Allah, padahal (kegiatan manusia banyak yang memperkeruh hati seperti) makan dan minum secara berlebih, terlalu sering bergaul dengan manusia, serta banyak bicara dan tidur. (Semua hal itu) memporakporandakan hati, memutus, atau melemahkan, atau mengganggu dan menghentikan hati dari berjalan kepada Allah. Maka rahmat Allah kepada hamba-Nya menuntut pensyari’atan puasa untuk mereka yang mampu mengikis makan dan minum yang berlebih serta mengosongkan hati dari campuran syahwat yang menghalangi jalan kepada Allah. Allah mensyariatkannya sesuai dengan kadar kemaslahatan yang dapat bermanfaat bagi hamba di dunia dan akhirat. Namun, tidak merugikan dan memutus kemaslahatan dunia dan akhiratnya.

Demikian pula, Allah mensyariatkan i’tikaf bagi mereka yang bertujuan agar hati dan kekuatannya fokus untuk beribadah kepada-Nya, berkhalwat dengan-Nya, memutus diri dari kesibukan dengan makhluk dan hanya sibuk menghadap kepada-Nya. Sehingga, berdzikir, kecintaan, dan menghadap kepada-Nya menjadi ganti semua faktor yang mampu memperkeruh hati. Begitupula, kesedihan dan kekeruhan hati justru akan akan terhapus dengan mengingat-Nya dan berfikir bagaimana cara untuk meraih ridha-Nya dan bagaimana melakukan amalan yang mampu mendekatkan diri kepada-Nya. Berkhalwat dengan-Nya menjadi ganti dari kelembutannya terhadap makhluk, yang menyebabkan dia berbuat demikian adalah karena (mengharapkan) kelembutan-Nya pada hari yang mengerikan di alam kubur, tatkala tidak ada lagi yang mampu berbuat lembut kepadanya dan tidak ada lagi yang mampu menolong (dirinya) selain Allah. Inilah maksud dari i’tikaf yang agung itu.


WAKTU I'TIKAF

Jumhur (mayoritas ulama) berpendapat i’tikaf dianjurkan setiap saat untuk dilakukan dan tidak terbatas pada bulan Ramadhan atau di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. [20] Berikut beberapa dalil yang menunjukkan hal tersebut:

a. Terdapat riwayat yang shahih dari Ummu al-Mukminin, yang menyatakan bahwasanya nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari pertama bulan Syawwal dan dalam satu riwayat beliau melaksanakannya di sepuluh hari terakhir bulan Syawwal.[21]

b. Hadits Ibnu ‘Umar yang menceritakan bahwa ‘Umar radhiallahu ‘anhu, bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

كُنْتُ نَذَرْتُ فِى الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ

“Pada masa jahiliyah, saya pernah bernadzar untuk beri’tikaf semalam di Masjid al-Haram.” Maka nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkannya untuk menunaikan nadzar tersebut.[22]

c. Hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

إِذَا كَانَ مُقِيماً اعْتَكَفَ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ وَإِذَا سَافَرَ اعْتَكَفَ مِنَ الْعَامِ الْمُقْبِلِ عِشْرِينَ.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan ketika dalam kondisi mukim. Apabila beliau bersafar, maka beliau beri’tikaf pada tahun berikutnya selama dua puluh hari.”[23]

Begitupula hadits Ubay bin Ka’ab radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَعْتَكِفُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَسَافَرَ سَنَةً فَلَمْ يَعْتَكِفْ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْماً

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Kemudian beliau pernah bersafar selama setahun dan tidak beri’tikaf, akhirnya beliau pun beri’tikaf pada tahun berikutnya selama dua puluh hari.”[24]

Sisi argumen dari hadits di atas adalah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf selama dua puluh hari. Hal ini menunjukkan pensyari’atan beri’tikaf pada selain sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Tindakan beliau ini bukanlah qadha, karena kalau terhitung sebagai qadha tentu nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan bersegera menunaikannya sebagaimana kebiasaan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

d. Adanya berbagai riwayat dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiallahu ‘anhu yang menyatakan puasa sebagai syarat i’tikaf dan sebaliknya terdapat riwayat yang menyatakan puasa bukanlah syarat i’tikaf. Hal ini mengisyaratkan bahwa i’tikaf disyari’atkan di setiap waktu, tidak hanya di bulan Ramadhan atau pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Karena jika I’tikaf tidak boleh dilaksanakan kecuali pada bulan Ramadhan atau sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, maka adanya perbedaan pendapat dalam penentuan puasa sebagai syarat atau tidak tidak akan mencuat.

Tujuan i’tikaf adalah mengumpulkan hati kepada Allah ta’ala, menghadap kepada-Nya, dan berpaling dari selain-Nya dan hal ini tentunya dapat terealisasi di segala waktu. Namun, pada waktu-waktu tertentu, seperti di bulan Ramadhan terutama pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, ibadah I’tikaf lebih ditekankan untuk dilakukan.

WAKTU MINIMAL BER I'TIKAF

Waktu minimal seorang untuk ber-i’tikaf adalah setengah hari, dalam artian dia boleh ber-i’tikaf ketika siang hari, dari selepas shalat Subuh hingga matahari terbenam, atau dia boleh memulai ber-i’tikaf ketika malam, yaitu dari matahari terbenam hingga terbit fajar. Hal ini berdasarkan beberapa alasan sebagai berikut[25]:

Pertama, nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan ‘Umar radhiallahu ‘anhu untuk menunaikan nadzarnya beri’tikaf selama semalam di Masjid Al-Haram[26].
Kedua, terdapat berbagai riwayat dari para sahabat radhiallahu ‘anhum dan para salaf yang menyatakan puasa sebagai syarat i’tikaf dan sebaliknya terdapat riwayat yang menyatakan puasa bukanlah syarat i’tikaf. Telah diketahui bahwa puasa tidak akan terealisasi ketika dilaksanakan kurang dari setengah hari.
Ketiga, Jika i’tikaf disyari’atkan dilaksanakan dalam waktu kurang dari setengah hari, maka tentu terdapat riwayat valid dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan hal tersebut dan beliau akan memerintahkan para sahabatnya serta hal itu tentu sangat ma’ruf di tengah-tengah mereka, karena mereka senantiasa hilir mudik ke masjid.
Keempat, para sahabat radhiallahu ‘anhum sering duduk di masjid untuk menunggu shalat, mendengarkan khutbah atau siraman ilmu dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan kegiatan lainnya, namun tidak terdapat riwayat valid yang menyatakan ketika mereka melakukan kegiatan itu semua, mereka juga berniat untuk beri’tikaf di masjid.

Berdasarkan hal ini, seorang yang masuk masjid dan berniat untuk ber-i’tikaf selama dia berada di dalam masjid tersebut, meski hanya sesaat,-sebagaimana pendapat ulama madzhab Syafi’i dan Hambali-, maka perbuatan tersebut tidaklah disyari’atkan.

Di dalam al Fatawa al Kubra tercantum, “Abu al’Abbas (Ibnu Taimiyah) rahimahullah tidak mendukung pendapat yang menganjurkan agar seorang yang pergi ke masjid untuk shalat atau tujuan selainnya, berniat I’tikaf selama berada di dalam masjid.”[27]

WAKTU MAKSIMAL BER I'TIKAF

Para ulama sepakat tidak ada batas waktu maksimal bagi seorang untuk ber-i’tikaf.[28] Ibnu Mulaqqin rahimahullahmengatakan, “Di dalam hadits ‘Aisyah yang redaksinya berikut, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hingga Allah mewafatkannya”[29] memiliki kandungan bahwa I’tikaf tidak dibenci jika dilakukan di setiap waktu dan ulama telah sepakat bahwa tidak ada batas waktu maksimal untuk beri’tikaf.”[30]

Mungkin ada pertanyaan, “ Bukankah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan ber-i’tikaf selama sepuluh hari?

Hal ini dapat dijawab sebagai berikut:

“Tindakan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan tidaklah menunjukkan pengkhususan waktu. Namun, hal tersebut dilakukan karena adanya sebab lain, yaitu dalam rangka mencari Lailat al-Qadr, karena malam tersebut terdapat pada malam-malam tersebut. Oleh karena itu, pada hadits Abu Sa’id radhiallahu ‘anhu dinyatakan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari pada pertengahan Ramadhan kemudian diwahyukan kepada beliau bahwa malam tersebut terdapat pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sehingga beliau pun beri’tikaf pada waktu tersebut untuk mencarinya.”[31]

Pertanyaan: “Ketika beri’tikaf di bulan Ramadhan, kapankah seorang dianjurkan untuk memulai i’tikaf?”

Jawab:

Seorang dianjurkan untuk masuk ke dalam masjid ketika matahari terbenam pada malam ke-21 Ramadhan. Hal ini berdasarkan pendapat ulama ketika meneliti berbagai dalil terkait hal ini.

Dalilnya adalah hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada para sahabat,

إِنِّى اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ لِى إِنَّهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ ». فَاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ

“Sesungguhnya saya beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dalam rangka mencari malam Lailat al-Qadr. Kemudian saya beri’tikaf di sepuluh hari pada pertengahan Ramadhan, dan saya didatangi oleh (Jibril) dan diberitahu bahwa malam tersebut terletak pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Oleh karena itu, siapa diantara kalian yang ingin beri’tikaf, silahkan beri’tikaf. Maka para sahabat pun beritikaf bersama beliau.”[32]

Dalam satu riwayat tercantum dengan lafadz,

مَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعِى فَلْيَعْتَكِفِ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ

“Barangsiapa yang (ingin) beri’tikaf, hendaknya beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.”[33]

Sepuluh hari pertama yang dimaksud dimulai pada malam ke-21 Ramadhan karena malam ke-21 Ramadhan termasuk malam ganjil yang turut dinyatakan sebagai malam turunnya Lailatul Qadr.[34] Oleh karena itu, nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam –sebagaimana tersebut dalam hadits Abu Sa’id al-Khudri di atas-, beri’tikaf semenjak pertengahan Ramadhan untuk mencari malam tersebut dan dilanjutkan pada sepuluh hari terakhir Ramadhan.

Pertanyaan: Bukankah disana terdapat hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang redaksinya

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلَّى الْفَجْرَ ثُمَّ دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ

Apabila rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin beri’tikaf, beliau melaksanakan shalat Subuh kemudian masuk ke tempat i’tikafnya.[35]
Sebagian ulama berdalil dengan hadits ini untuk menyatakan bahwa I’tikaf dimulai ketika selesai Shalat Subuh pada hari ke-21?

Jawab:

Hal ini telah dijawab oleh dua ulama ternama, yaitu imam an Nawawi dan al ‘Allamah Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahumallah. Berikut jawaban mereka berdua,

An Nawawi rahimahullah menjawab hal tersebut dengan mengatakan sebenarnya nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamtelah lebih dahulu beri’tikaf di masjid. Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha tersebut bukanlah menunjukkan nabi memulai I’tikaf pada saat itu, namun nabi sebenarnya telah beri’tikaf dan tinggal di masjid sebelum waktu Maghrib, tatkala beliau melaksanakan shalat Subuh (pada hari setelahnya) barulah beliau menyendiri di tempat I’tikaf yang khusus dibuatkan untuk beliau (mu’takaf).[36]

Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan,

“Seorang yang beri’tikaf mulai beri’tikaf ketika terbenamnya matahari pada malam ke-21 Ramadhan, karena pada saat itulah sepuluh hari terakhir yang dimaksud dalam hadits dimulai. Hal ini tidaklah bertentangan dengan hadits ‘Aisyah dan hadits Abu Sa’id radhiallahu ‘anhu, meskipun redaksi kedua hadits tersebut memiliki perbedaan.

(Ketika terjadi hal seperti ini), maka (redaksi hadits) yang dijadikan pegangan adalah redaksi yang lebih dekat pada indikasi (kandungan) bahasa, yaitu hadits yang diriwayatkan Bukhari dari ‘Aisyah yang merupakan hadits pertama dalam bab “Al I’tikaf fi Syawwal” hal 382 juz 4 yang terdapat dalam kitab Fathul Baari. ‘Aisyah radhiallahu ‘anhamengatakan,

انَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ

Rasulullah senantiasa beri’tikaf di bulan Ramadhan. Apabila beliau melaksanakan shalat Subuh, beliau masuk ke dalam tempat I’tikaf yang digunakan untuk beri’tikaf.”

Demikian pula hadits Abu Sa’id, hadits kedua pada bab “Taharri Lail al Qadr fi al Witr min Al ‘Usyr al Awakhir hal. 952″, dia mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُجَاوِرُ فِى رَمَضَانَ الْعَشْرَ الَّتِى فِى وَسَطِ الشَّهْرِ ، فَإِذَا كَانَ حِينَ يُمْسِى مِنْ عِشْرِينَ لَيْلَةً تَمْضِى ، وَيَسْتَقْبِلُ إِحْدَى وَعِشْرِينَ ، رَجَعَ إِلَى مَسْكَنِهِ وَرَجَعَ مَنْ كَانَ يُجَاوِرُ مَعَهُ . وَأَنَّهُ أَقَامَ فِى شَهْرٍ جَاوَرَ فِيهِ اللَّيْلَةَ الَّتِى كَانَ يَرْجِعُ فِيهَا ، فَخَطَبَ النَّاسَ ، فَأَمَرَهُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ ، ثُمَّ قَالَ « كُنْتُ أُجَاوِرُ هَذِهِ الْعَشْرَ ، ثُمَّ قَدْ بَدَا لِى أَنْ أُجَاوِرَ هَذِهِ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ ، فَمَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعِى فَلْيَثْبُتْ فِى مُعْتَكَفِهِ ، وَقَدْ أُرِيتُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ أُنْسِيتُهَا فَابْتَغُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ وَابْتَغُوهَا فِى كُلِّ وِتْرٍ ، وَقَدْ رَأَيْتُنِى أَسْجُدُ فِى مَاءٍ وَطِينٍ » . فَاسْتَهَلَّتِ السَّمَاءُ فِى تِلْكَ اللَّيْلَةِ ، فَأَمْطَرَتْ ، فَوَكَفَ الْمَسْجِدُ فِى مُصَلَّى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – لَيْلَةَ إِحْدَى وَعِشْرِينَ ، فَبَصُرَتْ عَيْنِى رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَنَظَرْتُ إِلَيْهِ انْصَرَفَ مِنَ الصُّبْحِ ، وَوَجْهُهُ مُمْتَلِئٌ طِينًا وَمَاءً

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah beri’tikaf di sepuluh hari pada pertengahan Ramadhan. Ketika berada pada waktu sore di hari ke-20, malam menjelang dan hari ke-21 akan segera tiba, beliau kembali ke rumah dan orang-orang yang beri’tikaf bersama beliau juga turut kembali.

Pada malam itu,-dimana beliau beri’tikaf dan kemudian kembali ke rumah-, beliau berkhutbah kepada manusia kemudian memerintahkan mereka dengan apa yang dikehendaki Allah, beliau kemudian berkata kepada mereka, “Semula, saya beri’tikaf pada sepuluh hari ini (yaitu pada pertengahan Ramadhan), kemudian diwahyukan kepadaku agar beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir (agar memperoleh Lailat al-Qadr). Barangsiapa yang ingin beri’tikaf bersamaku, maka hendaklah dia tetap tinggal di tempat i’tikafnya. Sesungguhnya malam tersebut telah diperlihatkan kepadaku, namun aku terlupa. Oleh karena itu, carilah malam tersebut pada sepuluh hari terakhir, di malam yang ganjil, dan sungguh (pada saat Lailatul Qadr tersebut) saya melihat diriku sujud di atas tanah dan air.”

Anas mengatakan, “Pada malam tersebut (yakni ketika beliau berkhutbah kepada para sahabat-pen), langit menurunkan hujan yang sangat lebat dan air hujan menembus atap masjid dan mengucur di tempat shalat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, (saat itu) pada malam ke-21. Pandangan saya memperhatikan rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan saya melihat ketika beliau selesai menunaikan shalat Subuh, wajahnya dipenuhi tanah dan air.”

(Syaikh Utsaimin mengatakan), “Pada hadits ‘Aisyah tercantum redaksi berikut ” دخل مكانه الذي اعتكف فيه “. Redaksi ini berkonsekuensi bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah terlebih dahulu berada di masjid sebelum masuk ke dalam mu’takaf[37], karena perkataan ‘Aisyah “اعتكف” merupakan fi’il madhi (kata kerja lampau) dan hukum asalnya kata tersebut digunakan sesuai dengan hakikatnya.

Pada hadits Abu Sa’id tercantum redaksi:

فإذا كان حين يمسي من عشرين ليلة تمضي ويستقبل إحدى وعشرين

sore merupakan akhir siang dan merupakan waktu tiba bagi malam selanjutnya. Berdasarkan hal ini, khutbah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terjadi di akhir siang pada hari ke-20 Ramadhan, hal ini dikuatkan oleh riwayat kedua dalam hadits beliau, yaitu hadits ketiga pada bab “Al I’tikaf fi al ‘Usyr al Awakhir wa Al I’tikaf fi Al Masajid Kulliha” hlm. 172. Anas mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah beri’tikaf pada suatu tahun kemudian pada malam ke-21 beliau mengatakan, “Barangsiapa yang ingin beri’tikaf bersamaku, hendaklah dia beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir. Sungguh telah diwahyukan kepadaku waktu Lailatul Qadr, namun kemudian saya dilupakan mengenai waktunya. Dan sungguh (pada saat Lailatul Qadr tersebut), saya melihat diriku bersujud di air dan tanah (dalam kondisi becek-pen) pada waktu Subuh.” Anas mengatakan, “Maka pada malam tersebut, turunlah hujan yang sangat lebat, dan di waktu Subuh pada hari ke-21, saya melihat dahi rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat bekas air dan tanah.”[38]

Dari pemaparan di atas, kita bisa melihat bahwa I’tikaf dianjurkan dilakukan pada malam ke-21 Ramadhan. Inilah pendapat yang paling hati-hati dalam masalah ini sebagaimana dikemukakan oleh Syaikh Dr. Khalid al Musyaiqih hafizhahullah.[39]

Pertanyaan: “Ketika beri’tikaf di bulan Ramadhan, kapankah seorang dianjurkan mengakhiri I’tikaf?”

Jawab:

Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin mengatakan, “Seorang yang beri’tikaf mengakhiri i’tikafnya apabila bulan Ramadhan telah berakhir, dan bulan Ramadhan berakhir ketika matahari terbenam pada malam ‘Ied.”[40]

Sebagian ulama salaf menganjurkan agar seorang tetap tinggal beri’tikaf pada malam ‘Ied dan baru mengakhirinya ketika hendak melaksanakan shalat ‘Ied. Imam Malik menyatakan bahwa dia melihat sebagian ulama apabila beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, mereka tidak pulang ke keluarga mereka hingga mereka menghadiri shalat ‘Ied bersama manusia.”[41]

Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Asy Syafi’i dan murid-murid beliau mengatakan, “Barangsiapa yang ingin mengikuti tuntunan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, maka hendaknya dia memasuki masjid sebelum matahari terbenam pada malam ke-21 agar dia tidak terluput (untuk memperoleh Lailat al-Qadr). Dan dia keluar dari masjid setelah terbenamnya matahari pada malam ‘Ied, baik bulan Ramadhan telah berakhir sempurna, atau tidak. Dan yang lebih afdhal, dia tetap tinggal di masjid (pada malam ‘Ied) sampai menunaikan shalat “Ied di masjid atau dia (tetap tinggal di masjid di malam ‘Ied) dan keluar dari masjid ketika hendak menuju tanah lapang untuk mengerjakan shalat ‘Ied, jika dia mengerjakannya disana."[42]


SYARAT-SYARAT I'TIKAF

Syarat-syarat i’tikaf adalah sebagai berikut:

1. Islam

وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلا يَأْتُونَ الصَّلاةَ إِلا وَهُمْ كُسَالَى وَلا يُنْفِقُونَ إِلاوَهُمْ كَارِهُونَ (٥٤)

“Dan tidak ada yang menghalangi untuk diterimanya nafkah-nafkah mereka, melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mereka tidak mengerjakan sembahyang melainkan dengan malas, dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan.” (At Taubah: 54).

Al ‘Allamah Abdurrahman as Sa’di rahimahullah mengatakan,

والأعمال كلها شرط قبولها الإيمان، فهؤلاء لا إيمان لهم

“Persyaratan agar seluruh amal ibadah diterima adalah iman, sedangkan mereka yang tersebut dalam ayat ini tidak memiliki keimanan.”[43]

2. Niat, Berakal, dan Tamyiz

I’tikaf seorang yang gila, mabuk, dan pingsan tidaklah sah karena mereka tidak mampu berniat, tidak pula berakal. Padahal rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ

Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya[44]

Maksud dari hadits tersebut adalah keabsahan dan diterimanya suatu amalan adalah karena niat yang melandasinya, sehingga sabda beliau ini berkaitan dengan keabsahan suatu amalan.[45]

Seorang yang masuk ke dalam masjid memiliki beraneka ragam tujuan, diantara mereka ada yang hendak shalat, mendengarkan ta’lim, beri’tikaf, dan sebagainya. Dengan demikian, seorang yang hendak beri’tikaf membutuhkan niat untuk membedakan tujuan dari ibadah selainnya yang juga turut dikerjakan di masjid seperti shalat. Dan niat tersebut hanya mampu dilakukan oleh seorang yang berakal. Wallahu a’lam.

3. Suci dari Haidh dan Nifas

Para ulama mengemukakan bahwa dalil yang menyatakan bahwa suci dari haidh, nifas, dan junub merupakan syarat i’tikaf adalah dalil-dalil yang menyatakan terlarangnya orang yang haidh, nifas, dan junub untuk berdiam di masjid. Berikut beberapa diantaranya,

Pertama, firman Allah ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا (٤٣)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula menghampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (An Nisa: 43).

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,

ينهى تبارك وتعالى عباده المؤمنين عن فعل الصلاة في حال السكر الذي لا يدري معه المصلي ما يقول وعن قربان محالها التي هي المساجد للجنب إلا أن يكون مجتازا من باب إلى باب من غير مكث

“Allah tabaraka wa ta’ala melarang para hamba-Nya yang beriman mengerjakan shalat dalam keadaan mabuk sehingga dia tidak mengetahui makna surat yang dibacanya. Demikian pula Dia melarang mereka yang junub mendekati tempat shalat, yaitu masjid kecuali hanya sekedar lewat dari satu pintu ke pintu yang lain tanpa berdiam di dalamnya.”[46]

Sisi pendalilan dari ayat ini adalah ketika Allah ta’ala melarang seorang yang junub mendekati masjid, maka hukum ini juga berlaku pada wanita yang sedang mengalami haidh, karena haidh yang dialaminya merupakan hadats yang jauh lebih berat daripada sekedar junub. Oleh karena itu, seorang yang haidh dilarang bercampur dengan suami, berpuasa, dan kewajiban shalat digugurkan darinya.[47]

Kedua, sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang tengah melaksanakan ihram kemudian tertimpa haidh,

افْعَلِى مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِى بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِى

“Kerjakanlah apa yang dikerjakan seorang yang berhaji, namun janganlah engkau berthawaf di Bait al-Haram hingga kamu suci.”[48]

Ketiga, perkataan ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu,

كُنَّ الْمُعْتَكِفَاتُ إذَا حِضْنَ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِإِخْرَاجِهِنَّ عَنْ الْمَسْجِدِ

“Kami wanita yang beri’tikaf, apabila mengalami haidh, maka rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memerintahkan untuk mengeluarkannya dari masjid.”[49]

Pertanyaan: Bagaimanakah hukum seorang wanita yang mengalami istihadhah, bolehkah dia beri’tikaf?

Jawab:

Seorang wanita yang mengalami isthadhah diperbolehkan beri’tikaf berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha,

اعْتَكَفَتْ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – امْرَأَةٌ مِنْ أَزْوَاجِهِ ، فَكَانَتْ تَرَى الدَّمَ وَالصُّفْرَةَ ، وَالطَّسْتُ تَحْتَهَا وَهْىَ تُصَلِّى

“Salah seorang istri nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf bersama beliau dalam keadaan beristihadhah. Istri beliau tersebut mengeluarkan darah dan lendir berwarna kuning, dia mengerjakan shalat dan di bawah tubuhnya terdapat bejana (untuk menampung darah tersebut).”[50]

Al ‘Aini rahimahullah mengatakan,

“Diantara kesimpulan hukum yang dapat dipetik adalah wanita yang mengalami istihadhah boleh beri’tikaf dan shalat, karena kondisinya adalah kondisi suci. Wanita tersebut meletakkan bejana (di bawahnya) agar darah tersebut tidak mengenai baju atau masjid. Selain itu, darah istihadhah juga encer, tidak seperti darah haidh. Hukum bolehnya I’tikaf bagi wanita yang mengalami istihadhah ini juga diberlakukan bagi kondisi yang semisal seperti seorang yang sering mengeluarkan urin (beser), madzi, wadi, dan mengalami luka yang senantiasa mengalirkan darah.”[51]

4. Bagi wanita, memperoleh Izin dari suami dan aman dari fitnah

‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Dia mengatakan,

قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ أَنْ تَعْتَكِفَ فَأَذِنَ لَهَا فَضَرَبَتْ فِيهِ قُبَّةً

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa beri’tikaf di bulan Ramadhan. Apabila beliau selesai melaksanakan shalat Subuh, beliau masuk ke dalam tempat I’tikaf. (Salah seorang perawi hadits ini mengatakan), “Maka ‘Aisyah pun meminta izin kepada nabi untuk beri’tikaf. Beliau pun mengizinkannya dan ‘Aisyah pun membuat kemah di dalam masjid.”[52]

Hadits ini juga menjadi dasar bahwa seorang wanita harus terlebih dahulu meminta izin kepada suami jika hendak beri’tikaf.

Dalam riwayat yang lain tercantum lafadz

وَسَأَلَتْ حَفْصَةُ عَائِشَةَ أَنْ تَسْتَأْذِنَ لَهَا

“Hafshah meminta bantuan ‘Aisyah agar memintakan izin baginya kepada rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk beri’tikaf).”[53]

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,

وليس للزوجة أن تعتكف إلا بإذن زوجها ولا للمملوك أن يعتكف إلا بإذن سيده لأن منافعها مملوكة لغيرهما والاعتكاف يفوتها ويمنع استيفاءها وليس بواجب عليهما بالشرع فكان لها المنع منه

“Istri tidak boleh beri’tikaf kecuali diizinkan oleh suami. Begitupula dengan budak, dia tidak boleh beri’tikaf kecuali diizinkan oleh majikannya. Hal ini dikarenakan manfaat yang ada pada diri mereka juga dimiliki oleh selain mereka (yaitu suami dan majikan). I’tikaf akan menghilangkan dan menghambat manfaat tersebut. Selain itu, I’tikaf tidaklah wajib bagi mereka. Dengan demikian, I’tikaf menjadi terlarang bagi mereka (kecuali setelah diizinkan).”[54]

5. Dilaksanakan di Masjid

Dalil akan hal tersebut adalah sebagai berikut:

a. Firman Allah ta’ala,

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ (١٨٧)

“Dan janganlah kalian mencampuri mereka (para wanita), sedang kalian beri’tikaf dalam masjid.” (Al Baqarah: 187).

Ayat ini menyatakan bahwa i’tikaf disyari’atkan di masjid.[55]

Ibnu Hajr Al Asqalani rahimahullah mengatakan,

وَوَجَدَ الدَّلَالَة مِنْ الْآيَة أَنَّهُ لَوْ صَحَّ فِي غَيْر الْمَسْجِد لَمْ يَخْتَصَّ تَحْرِيم الْمُبَاشَرَةِ بِهِ ، لِأَنَّ الْجِمَاع مُنَافٍ لِلِاعْتِكَافِ بِالْإِجْمَاعِ ، فَعُلِمَ مِنْ ذِكْرِ الْمَسَاجِدِ أَنَّ الْمُرَادَ أَنَّ الِاعْتِكَافَ لَا يَكُون إِلَّا فِيهَا

“Indikasi hukum yang terdapat pada ayat ini adalah jika i’tikaf sah dilakukan di selain masjid, maka tentulah pengharaman mubasyarah (jima’) tidak dikhususkan di dalam masjid. Hal ini dikarenakan jima’ membatalkan i’tikaf secara ijma’. Dengan demikian, dapat diketahui maksud penyebutan masjid di dalam ayat tersebut adalah i’tikaf tidaklah sah kecuali dikerjakan di dalam masjid.”[56]

b. Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha menyatakan bahwa ketika nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf, beliau mengeluarkan kepalanya dari masjid agar dapat disisir oleh ‘Aisyah dan beliau tidak masuk ke dalam rumah kecuali ada kebutuhan yang mendesak.[57]

c. Ijma’ yang diklaim oleh sejumlah ulama. Al Qurthubi rahimahullah mengatakan,

أجمع العلماء على أن الاعتكاف لا يكون في إلا في المسجد

“Ulama bersepakat bahwa I’tikaf hanya boleh dikerjakan di dalam masjid.”[58]

Pertanyaan: Bagaimana kriteria masjid yang dapat dipakai untuk beri’tikaf?

Jawab:

Kriteria masjid yang dipakai oleh pria untuk beri’tikaf adalah masjid yang di dalamnya ditegakkan shalat berjama’ah, mengingat pria diwajibkan untuk menunaikan shalat wajib secara berjama’ah di masjid.[59]

Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu mengatakan,

لا اعتكاف إلا في مسجد تجمع فيه الصلوات

“Tidak ada I’tikaf melainkan di masjid yang di dalamnya ditegakkan shalat berjama’ah.”[60]

Lebih disukai jika hal itu dilaksanakan di masjid Jami’ (masjid yang juga digunakan untuk shalat Jum’at).[61]

Jika seorang diperkenankan untuk beri’tikaf di masjid yang di dalamnya tidak ditegakkan shalat wajib secara berjama’ah, maka hal ini akan menimbulkan dua dampak negatif bagi seorang, yaitu,

  • Meninggalkan shalat wajib secara berjama’ah yang diwajibkan kepada setiap pria.
  • Atau menggiring seorang untuk keluar dari masjid yang digunakannya beri’tikaf untuk menunaikan shalat berjama’ah di masjid yang di dalamnya ditegakkan shalat wajib secara berjama’ah. Tindakan itu akan senantiasa terulang, padahal sangat memungkinkan dia tidak melakukannya, yaitu dengan memilih masjid yang ditegakkan shalat berjama’ah di dalamnya. Tindakannya tersebut justru akan menafikan tujuan i’tikaf, karena esensi I’tikaf adalah berdiam diri dan menegakkan ketaatan di dalam masjid.[62]

Pertanyaan: “Terdapat hadits Hudzaifah ibn al-Yaman radhiallahu ‘anhu yang menyatakan “Tidak ada i’tikaf kecuali di tiga masjid.” Sebagian ulama berdalil dengan hadits ini dan menyatakan bahwa I’tikaf hanya sah dilakukan di ketiga masjid, yaitu masjid al-Haram, masjid Nabawi, dan masjid al-Aqsha?”

Jawab:

Teks lengkap hadits Hudzaifah tersebut adalah sebagai berikut, Ath Thahawi rahimahullah berkata Muhammad bin Sinan Asy Syairazi[63] memberitakan kepada kami, Hisyam bin ‘Ammar[64] memberitakan kepada kami, Sufyan ibn ‘Uyainah memberitakan kepada kami, riwayat dari Jami’ bin Abi Rasyid dari Abu Wail, dia mengatakan, Hudzaifah berkata kepada Abdullah,

الناس عكوف بين دارك ودار أبي موسى لا تغير؟! ، وقد علمت أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : « لا اعتكاف إلا في المساجد الثلاثة : المسجد الحرام ومسجد النبي صلى الله عليه وسلم ومسجد بيت المقدس » قال : عبد الله لعلك نسيت وحفظوا ، وأخطأت وأصابوا

“Terdapat sekelompok orang yang beri’tikaf di antara rumahmu dan rumah Abu Musa, dan anda tidak menegurnya, padahal anda tahu rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Tidak ada I’tikad kecuali di tiga masjid, yaitu masjid al-Haram, masjid Nabi, dan masjid Bait al-Maqdis? Abdullah bin Mas’ud menjawab, “Mungkin anda yang lupa dan mereka yang mengingatnya, dan mungkin anda yang keliru dan merekalah yang benar.”
[65]

Jawaban akan hal tersebut adalah sebagai berikut:[66]

Pertama, hadits tersebut masih diperselisihkan apakah berstatus marfu’ (bersambung kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) atau mauquf (hanya sampai kepada Hudzaifah radhiallahu ‘anhu saja), yang tepat hadits tersebut berstatus mauquf.[67]

Kedua, dalam riwayat tersebut, sahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu tidak menerima riwayat Hudzaifah radhiallahu ‘anhu. Hal ini tidak mungkin terjadi seandainya Ibnu Mas’ud mengetahui bahwa hadits tersebut memang sanadnya bersambung sampai kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini menunjukkan bahwa hal tersebut berasal dari ijtihad Hudzaifah radhiallahu ‘anhu semata.[68]

Ketiga, jika memang benar riwayat Hudzaifah tersebut shahih dan marfu’, maka hadits tersebut menjelaskan keutamaan yang lebih jika I’tikaf dilakukan di ketiga masjid tersebut. Al Kasani rahimahullah[69] mengatakan, “I’tikaf yang paling utama dikerjakan di masjid al-Haram, kemudian di masjid Madinah, masjid al-Aqsha, dan masjid besar yang banyak jama’ahnya.”

Keempat, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan,

“I’tikaf di selain masjid yang tiga, yaitu masjid al-Haram, masjid an-Nabawi, dan masjid al-Aqsha, disyari’atkan pada waktunya dan tidak hanya khusus di tiga masjid tersebut. Bahkan, I’tikaf itu dapat dilakukan di masjid selain ketiga masjid tersebut.

Inilah pendapat para imam kaum muslimin, para imam madzhab yang diikuti oleh kaum muslimin, yaitu imam Ahmad, Malik, Asy Syafi’i, Abu Hanifah, dan selain mereka rahimahumullah berdasarkan firman Allah ta’ala,

وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذالِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

Kata “المساجد” dalam ayat tersebut umum dan mencakup seluruh masjid di penjuru bumi. Redaksi ayat ini berada dalam urutan akhir dari rentetan ayat-ayat puasa yang hukumnya mencakup seluruh umat Islam di penjuru bumi.

Dengan demikian, redaksi ayat ini, -yang menyebutkan perihal i’tikaf-, (juga) merupakan seruan kepada setiap orang yang diseru untuk menunaikan puasa. Oleh karena itu, berbagai hukum yang saling terkait ini ditutup dalam redaksi dan seruan yang berbunyi,

تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذالِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

Sangat mustahil, Allah memerintahkan umat ini dengan sebuah seruan yang hanya mencakup sebagian kecil dari umat ini (padahal di awal rentetan ayat, Allah menyeru semua umat ini).

Adapun hadits Hudzaifah ibn al-Yaman radhiallahu ‘anhu dengan redaksi “لا اعتكاف إلا في المساجد الثلاثة”, jika memang selamat dari berbagai cacat, maksudnya adalah menafikan kesempurnaan (i’tikaf yang dilaksanakan di selain ketiga masjid tersebut). Dengan demikian, maknanya adalah I’tikaf yang paling sempurna adalah yang dilakukan di tiga masjid tersebut, dikarenakan kemuliaan dan keutamaan ketiga masjid tersebut daripada masjid-masjid yang lain.

Redaksi seperti ini banyak contohnya dalam hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maksud saya bahwa penafian (yang terdapat dalam redaksi sebuah hadits) terkadang maksudnya penafian kesempurnaan, bukan (semata-mata) penafian hakikat (eksistensi) dan keabsahan sesuatu.

Hal ini seperti sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لا صلاة بحضرة طعام

“Tidak sempurna shalat seorang ketika makanan telah dihidangkan baginya”

dan hadits yang lain. Tidak diragukan lagi bahwa hukum asal penafian yang terdapat dalam suatu nash adalah penafian keabsahan dan eksistensi sesuatu. Akan tetapi, apabila terdapat dalil yang tidak mendukung hal tersebut, maka wajib berpegang dengannya. Hal ini sebagaimana hadits Hudzaifah, jika memang hadits tersebut selamat dari berbagai cacat. Wallahu a’alam.[70]

Pertanyaan: Bagaimana dengan puasa, bukankah puasa termasuk syarat i’tikaf berdasarkan perbuatan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang senantiasa mengerjakan I’tikaf dengan berpuasa?

Jawab:

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hal ini. Namun, pendapat yang terkuat adalah puasa bukanlah syarat untuk mengerjakan I’tikaf. Hal ini didasarkan pada beberapa dalil berikut:[71]

Pertama, firman Allah ta’ala,

وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ (١٨٧)

“Sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid.” (Al Baqarah: 187).

Ayat ini menunjukkan pensyari’atan puasa tanpa dibarengi puasa karena tercantum secara mutlak tanpa ada pembatasan.

Kedua, firman Allah ta’ala,

وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتَوْا عَلَى قَوْمٍ يَعْكُفُونَ عَلَى أَصْنَامٍ لَهُمْ قَالُوا يَا مُوسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ (١٣٨)

“Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang bertapa (beri’tikaf) menyembah berhala mereka, Bani lsrail berkata: “Hai Musa. buatlah untuk Kami sebuah Tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa Tuhan (berhala)”. Musa menjawab: “Sesungguh-nya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan).” (Al A’raaf: 138).

Pada ayat ini Allah menyebut tindakan kaum musyrikin yang berdiam di samping berhala mereka dengan sebutan i’tikaf, meskipun mereka tidak berpuasa. Maka seorang yang mengekang diri untuk Allah di rumah-Nya (yakni masjid), bisa juga disebut seorang yang beri’tikaf, meskipun dia tidak berpuasa.

Ketiga, hadits Ibnu ‘Umar yang menceritakan bahwa ‘Umar radhiallahu ‘anhu, bertanya kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

كُنْتُ نَذَرْتُ فِى الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ قَالَ « فَأَوْفِ بِنَذْرِكَ »

“Pada masa jahiliyah, saya pernah bernadzar untuk beri’tikaf semalam di Masjid al-Haram.” Maka nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkannya untuk menunaikan nadzar tersebut.[72]

Hadits di atas menunjukkan bahwa I’tikaf dapat dilakukan tanpa dibarengi dengan puasa, karena malam bukanlah waktu untuk berpuasa. Jika puasa merupakan syarat I’tikaf, tentulah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengijinkan ‘Umar radhiallahu ‘anh untuk beri’tikaf.

Keempat, pada hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha disebutkan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan I’tikaf di bulan Ramadhan dan baru melaksanakannya pada sepuluh hari pertama di bulan Syawwal.[73]

Hadits ini menunjukkan bahwa puasa bukanlah syarat I’tikaf, karena nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari pertama di bulan Syawwal dan hari ‘Ied termasuk di dalam rentang waktu tersebut. Telah dimaklumi bersama bahwa berpuasa ketika hari ‘Ied tidak diperbolehkan, karena nabi melarang hal tersebut.[74]

Kelima, Thawus rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anh dengan sanad yang shahih, bahwa beliau berpendapat bahwa seorang yang beri’tikaf tidak wajib berpuasa kecuali dia mewajibkan puasa atas dirinya.[75]

Keenam, seorang yang beri’tikaf lebih dari sehari, maka tentu dia akan beri’tikaf di siang dan malam hari. Konsekuensi pendapat yang menyatakan puasa merupakan syarat I’tikaf adalah status I’tikaf yang dilakukan orang tersebut pada malam hari tidaklah sah.

Adapun tindakan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang senantiasa berpuasa ketika beri’tikaf, maka bisa kita menjawabnya bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentulah lebih memilih kondisi yang paling afdhal dalam I’tikaf yang dilakukannya. Oleh karena itu, beliau beri’tikaf pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, padahal beri’tikaf di selain waktu tersebut diperbolehkan. Demikian pula, beliau beri’tikaf selama sepuluh hari, padahal beri’tikaf dalam rentang waktu yang lebih pendek dari itu juga diperbolehkan.


[1] Mukhtar ash-Shihhah 1/467.

[2] Al Mishbah al Munir 2/424.

[3] Fiqh al-I’tikaf hal.24.

[4] Syarh Shahih Muslim 8/66, dikutip dari al-Inshaf fi Hukm al-I’tikaf hlm. 5.

[5] Fiqh al-I’tikaf hal. 31

[6] HR. Bukhari dan Muslim

[7] HR. Bukhari dan Muslim

[8] Al Ijma’ hlm. 7; Asy Syamilah.

[9] Al Majmu’ 6/475; Asy Syamilah

[10] Fath al-Baari 4/271

[11] HR. Muslim: 1167.

[12] HR. Bukhari: 6318.

[13] HR. Bukhari: 1927.

[14] Fath al-Baari 4/271

[15] Ibnu Rusyd dalam Bidayah al-Mujtahid 1/312 menyatakan bahwa imam Malik menganggap makruh ibadah i’tikaf. Imam Malik berganggapan tidak ada sahabat yang melakukan I’tikaf. Namun, kita dapat mengetahui bahwa pendapat beliau tersebut bertentangan dengan dalil-dalil yang telah dipaparkan. Silahkan melihat Fiqh al-Itikaf hal. 34-37 untuk melihat pembahasan yang lebih luas.

[16] HR. Bukhari: 1940.

[17] HR. Ibnu Khuzaimah: 2224.

[18] HR. Bukhari: 831 dan Muslim: 445

[19] Zaad al-Ma’ad 2/82.

[20] Badai’ ash-Shanai’ 2/273, Kifayah al Akhyar 1/297, Al Mughni 3/122.

[21] HR. Bukhari: 1936 dan Muslim: 1172. Hal ini dilakukan karena beliau pernah meninggalkan i’tikaf di bulan Ramadhan dan menggantinya di bulan Syawwal.

[22] HR. Bukhari: 1927.

[23] HR. Ahmad: 12036.

[24] HR. Ahmad: 21314.

[25] Fiqh Al I’tikaf hlm. 54-55.

[26] HR. Bukhari: 1927.

[27] Al Fatawa al Kubra 5/380

[28] Fath al-Baari 4/272, al Minhaj Syarh Shahih Muslim 8/78, Bidayah al Mujtahid 1/445.

[29] HR. Bukhari: 1922 dan Muslim: 1172.

[30] Al I’lam bi Fawaid ‘Umdah al Ahkam 5/430; dikutip dari Fiqh al I’tikaf hlm. 56.

[31] Fiqh al-I’tikaf hlm. 56.

[32] HR. Muslim: 1167.

[33] HR. Bukhari: 1923.

[34] HR. Ahmad: 22815, Tirmidzi: 792.

[35] HR. Muslim: 1172.

[36] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim 4/207.

[37] Tempat yang digunakan orang yang beri’tikaf untuk menyendiri agar bisa beribadah di dalamnya.

[38] Majmu’ Fatawa wa Rasaa-il Ibn ‘Utsaimin 20/121; Asy Syamilah.

[39] Fiqh al-I’tikaf hlm. 61

[40] Majmu’ Fatawa wa Rasaa-il Ibn ‘Utsaimin 20/119; Asy Syamilah.

[41] Al Muwaththa:1/315.

[42] Al Majmu 6/475; Asy Syamilah.

[43] Taisir Karim ar Rahman hlm. 340.

[44] HR. Bukhari: 1, Muslim: 1907.

[45] Syarh Al Arba’in an Nawawi karya Syaikh Shalih alu Asy Syaikh.

[46] Tafsir Quran al-’Azhim 2/308; Asy Syamilah.

[47] Al Hawi 1/384. Dikutip dari Fiqh Al I’tikaf hlm. 73.

[48] HR. Bukhari: , Muslim: .

[49] Ibnu Jarir dalam Al Mughni 5/174 menisbatkan riwayat ini pada Abu Hafsh al ‘Akbari dan dia berkata, “sanad riwayat ini jayyid.”

[50] HR. Bukhari: 304.

[51] ‘Umdah al-Qari 3/280; Asy Syamilah.

[52] HR. Bukhari: 1936.

[53] HR. Bukhari: 1940.

[54] Al Mughni 3/151.

[55] Tafsir Surat Al Baqarah 2/358.

[56] Fath al Baari 4/345.

[57] HR. Bukhari: 1925, Muslim: 297.

[58] Al Jami’ li Ahkam Al Quran 2/324; Asy Syamilah.

[59] Salah satu dalil akan hal ini adalah sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَتُقَامَ ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى مَنَازِلِ قَوْمٍ لاَ يَشْهَدُونَ الصَّلاَةَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ

“Saya sangat berkeinginan memerintahkan agar shalat ditegakkan, kemudian saya bertolak ke rumah para pria yang tidak menghadiri shalat berjama’ah, lalu saya bakar mereka.” (HR. Bukhari: 2288).

[60] HR. Abdullah ibn Ahmad dalam Masailnya 2/673 dari ayah beliau (imam Ahmad).

[61] Al Majmu’ 6/480; Asy Syamilah.

Catatan: Seorang yang tidak beri’tikaf di masjid Jami’, maka wajib keluar untuk shalat Jum’at. Keluarnya tersebut terhitung sebagai udzur syar’i sehingga tidak membatalkan i’tikafnya, lagipula hal itu hanya dilakukan sekali dalam seminggu, tidak berulangkali. Al Kasani rahimahullah mengatakan, “Demikian pula keluar untuk menunaikan shalat Jum’at termasuk darurat, karena hukum menunaikan shalat Jum’at adalah faradhiallahu ‘anhuu ‘ain dan tidak mungkin dilaksanakan di setiap masjid. Sehingga, seorang harus keluar (ke masjid Jami’) untuk menunaikannya seperti (seorang yang keluar dari masjid tempatnya beri’tikaf) untuk menunaikan hajat. Keluarnya tersebut tidaklah membatalkan i’tikafnya.” (Badai’ Ash-Shanai’ 2/114).

[62] Al Mughni 3/187. Dikutip dari ‘Uudu ilaa Khair al-Hadyi hlm. 64.

[63] Adz Dzahabi rahimahullah dalam al Mizan 3/575 menyifati beliau dengan “صاحب مناكر”, perawi yang sering membawakan riwayat mungkar.

[64] Memiliki kelemahan dalam hafalan dan tatkala memasuki usia senja hafalan beliau mulai berubah. Lihat at-Tahdzib 11/51-54.

[65] HR. Ath Thahawi dalam Musykil al-Atsar 6/265; Asy Syamilah.

[66] Bagi para pembaca yang ingin memperluas pembahasan hal ini, dapat melihat Fiqh al-I’tikaf hlm. 120-123, ‘Uudu ilaa Khair al-Hadyi hlm. 66-69, al-Inshaf fi Ahkam al-I’tikaf hlm. 26-41.

[67] HR. Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya 4/348.

[68] Asy Syaukani rahimahullah ketika mengomentari perkataan Ibnu Mas'ud radhiallahu ‘anhu yang mengingkari Hudzaifah radhiallahu ‘anhu, berkata,

“Perkataan beliau (Ibnu Mas’ud) ini menunjukkan bahwa dalam permasalahan ini, Hudzaifah tidak berdalil dengan satu hadits pun yang berasal dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Hal itu diperkuat karena) Abdullah (Ibnu Mas’ud) menyelisihinya dan (malah) membolehkan I’tikaf dilakukan di setiap masjid. Jika terdapat hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang menerangkan hal itu) tentulah Abdullah bin Mas’ud tidak menyelisihinya.” (Nailul Authar 4/360).

[69] Badai’ ash Shanai’ 2/113.

[70] Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibni ‘Utsaimin 20/112; Asy Syamilah.

[71] Diadaptasi dari Fiqh Al I’tikaf hlm. 98-106.

[72] HR. Bukhari: 1927.

[73] HR. Muslim: 1172.

[74] HR. Muslim: 1140.

[75] HR. Baihaqi dalam Sunan Al Kubra: 8370.

0 komentar:

About

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More