MUQODIMAH

إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا، ومن سيئآت أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمداً عبده ورسوله، صلى الله عليه وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدي Assalamu'alaikum, Marhaban Ya Ikhwan ..... Antum Saat Ini Sedang Mengunjungi Blog Pribadinya Abu Abdurrahman Al-Bantani. Untuk Komentar ... Saran ... Kritik ... Serta Informasi Kajian Di Tempat Antum Semua Silahkan Kirim Ke (muhammad.irfan09@gmail.com) Semoga Allah Memberikan Kebaikan Kepada Antum Dan Kami ... Barakallahu Fiekum.

Kamis, 16 Desember 2010

DAUROH DU'AT 2010

(sumber : moslemsunnah)


Alhamdulillah
Setelah Sukses Menyelanggarakan Dauroh Du’at I Yang Dilaksanakan Pada Pertengahan Tahun 2010 Yang Lalu
Dengan Izin Dan taufiq Dari Allah
Insya Allah Forum Suara Quran Surakarta kembali Akan Menyelenggarakan Dauroh Du’at II yang insya Allah Akan Diselenggarakan Selama Dua Hari
Yaitu Tanggal 25-26 Desember 2010

Bagi ikhwan Dan Akhowat Yang Ingin Berpartisipasi

Untuk Menyukseskan Acara Ini Bisa Menyalurkan Donasinya

Melalui nomor rekening Berikut

(BCA 3940147955 atas nama Ahmad Sarsito, Amd)


Silakan konfirmasi donasi Anda melalui SMS

Dengan format

(Nama#Alamat#Jumlah Donasi)

Kirim Ke Nomor 0813 2904 5923


Semoga Allah Membalas Kebaikan Kita Semua Dengan Balasan Yang

Terbaik Di Dunia Dan Akhirat

Berikut Ini Adalah Proposal Donasi Dakwah

Daurah Du’at II

Jazakumullahu khaira


~*~

FORUM SUARA QURAN SURAKARTA
FORUM KOMUNIKASI KAJIAN ISLAM WILAYAH SURAKARTA

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

إن الحمد لله نحمده و نستعينه و نستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا ، من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلن
تجد له ولياً مرشداً، وأشهد أن لا إله الله وأشهد أن محمد عبده ورسوله.أما بعد ، فإن خير الكلام كلام الله ، وخير الهدي هدي محمد وشر الأمور محدثاتها ، وكل محدثة بدعة ، وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار

Sesungguhnya menyerukan agama Allah adalah sesuai dengan cara-cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para pengikutnya. Bahkan, menyerukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan cita-cita para rasul dan seluruh pengikutnya untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya terang, dari kekufuran rnenuju keimanan, dari kemusyrikan menuju ketauhidan dan dari neraka menuju surga.

Tidaklah layak orang-orang yang bodoh menjadi seorang da’i, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,

”Katakanlah, ‘Inilah jalan (agama)-ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata.’” (QS. Yusuf : 108).

Dalam rangka meningkatkan kualitas keilmuan para da’i Salafiyyin di Solo dan sekitarnya, kami berencana akan mengadakan kajian Dauroh Du’at ke-2 selama dua hari, yaitu Sabtu-Ahad, 25 dan 26 Desember 2010 dengan mengundang 100 peserta. Materi dalam dauroh ini melanjutkan pembahasan kitab Usus Manhaj Salaf fi Dakwati Ilallah yang insya Allah akan disampaikan oleh Ustadz DR. Ali Musri M.A, Ustadz Abdullah Taslim, M.A dan Ustadz Aris Sugiyarto, bertempat di Kompleks Masjid An-Nuur, Karangpandan, Karanganyar.

Untuk menyukseskan acara ini, kami mengajak Bapak/Ibu untuk ikut berpartisipasi dalam acara ini, yaitu sebagai donatur, tentunya setelah berharap bantuan dan kemudahan dari Allah. Rincian dana yang dibutuhkan ada pada halaman lampiran. Semoga Allah selalu memberikan kemudahan dalam menyukseskan acara ini, dan membalas kebaikan Bapak/Ibu dengan sebaik-baik balasan. Atas perhatian dan bantuannya kami ucapkan jazakumulah khairan.

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Surakarta, 6 November 2010

Mengetahui,
Ketua Panitia Penasihat

Amirulhuda Romadhoni Ustadz Aris Sugiyantoro

~*~

DAUROH DU’AT SURAKARTA
19-20 MUHARRAM 1432 H/25-26 DESEMBER 2010

MASJID AN-NUUR KARANGPANDAN KARANGANYAR

SUSUNAN PANITIA INTI

1. Penasihat
– Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin (Pimpinan Ma’had Imam Bukhari)

– Ustadz Aris Sugiyantoro (Pimpinan Ma’had Al-Ukhuwah)

2. Ketua
– Amirulhuda Romadhoni (Sragen)

– Pudi Abu Muhammad (Kartasura)

3. Sekretaris
– Abu Yumna (Klaten)

4. Bendahara
– Yusuf (Solo)

5. Acara
– Ustadz Adi Abdul Jabbar (Ma’had Imam Bukhari)

– Ustadz Agus Santoso (Ma’had Imam Bukhari)

6. Humas
– Ustadz Abdul Qahhar (Radio Suara Quran)

7. Transportasi
– Ma’hadul Uluum Karanganyar

8. Panitia Pelaksana
– Ma’hadul Uluum Karanganyar

~*~

ANGGARAN DANA

A. PEMASUKAN
Kontribusi Peserta Undangan (100 x Rp.10.000) : Rp 1.000.000

Pengumpulan Infaq : Rp 4.000.000

Donatur : Rp 4.500.000

B. PENGELUARAN
Kesekretariatan : Rp. 500.000

Perlengkapan : Rp 1.000.000

Akomodasi Pemateri : Rp 5.000.000

Transportasi : Rp 1.000.000

Sound System : Rp 500.000

Konsumsi Peserta (3 x 100 x Rp. 5.000) : Rp 1.500.000 +

TOTAL Rp 9.500.000

Contact Person: 0852 9315 5252


Kamis, 18 November 2010

NASEHAT ULAMA DALAM MENGHADAPI MUSIBAH


"Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz"

(sumber : Radio Hang 106 Fm)

Sesung guh nya Allah Maha Bijak sana dan Maha Meng etahui ter hadap semua yang dilak sanakan dan ditetapkan. Seba­gaimana juga Allah Maha Bijak sana dan Maha Meng etahui ter hadap semua syari’at dan semua yang diperin tahkan. Allah men cip takan tanda-tanda apa saja yang dikehen dakiNya, dan menetap kan nya untuk menakut-nakuti ham baNya. Meng­ingatkan ter hadap kewajiban mereka, yang merupakan hak Allah Azza wa Jalla wa Jalla. Meng ingatkan mereka dari per­buatan syirik dan melang gar per in tah serta melakukan yang dilarang.

Seba gaimana firman Allah.

وَمَا مَنَعَنَآ أَن نُّرۡسِلَ بِٱلۡأَيَـٰتِ إِلَّآ أَن ڪَذَّبَ بِہَا ٱلۡأَوَّلُونَ‌ۚ وَءَاتَيۡنَا ثَمُودَ ٱلنَّاقَةَ مُبۡصِرَةً۬ فَظَلَمُواْ بِہَا‌ۚ وَمَا نُرۡسِلُ بِٱلۡأَيَـٰتِ إِلَّا تَخۡوِيفً۬ا.٥٩

“Dan tidaklah Kami mem beri tanda-tanda itu melainkan untuk menakut-nakuti” [Al-Israa : 59]

Fir man Nya

سَنُرِيهِمۡ ءَايَـٰتِنَا فِى ٱلۡأَفَاقِ وَفِىٓ أَنفُسِہِمۡ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمۡ أَنَّهُ ٱلۡحَقُّ‌ۗ أَوَلَمۡ يَكۡفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ ۥ عَلَىٰ كُلِّ شَىۡءٍ۬ شَہِيدٌ .٥٣

“Kami akan mem per lihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sen­diri, sehingga jelas lah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu benar. Dan apakah Rabb-mu tidak cukup (bagi kamu), bahwa sesung guh nya Dia menyak sikan segala sesuatu” [Fushilat : 53]

Allah Aza wa Jalla berfirman.

قُلۡ إِنِّى نُہِيتُ أَنۡ أَعۡبُدَ ٱلَّذِينَ تَدۡعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ‌ۚ قُل لَّآ أَتَّبِعُ أَهۡوَآءَڪُمۡ‌ۙ قَدۡ ضَلَلۡتُ إِذً۬ا وَمَآ أَنَا۟ مِنَ ٱلۡمُهۡتَدِينَ .٥٦

” Katakanlah (Wahai Muham mad) : “Dia (Allah) Maha Ber kuasa untuk meng irimkan adzab kepada kalian, dari atas kalian atau dari bawah kaki kalian, atau Dia men cam purkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling ber ten tangan), dan merasakan kepada sebagian kalian keganasan sebahagian yang lain” [Al-An’am : 65]

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam Shahih-nya dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘anhu , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,dia (Jabir) ber kata : “sifat firman Allah Azza wa Jalla ” Qul huwal al-qaadiru ‘alaa an yab’atsa ‘alaikum ‘adzaaban min fawuqikum” turun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a : “Aku ber lin dung dengan wajahMu”, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melan jutkan (mem baca) ” Awu min tajti arjulikum”, Rasulullah berdo’a lagi, “Aku ber lin dung dengan wajahMu” [1]

Diriwayatkan oleh Abu Syaikh Al-Ashbahani dari Mujtahid ten tang tafsir ayat ini : “Qul huwal al-qaadiru ‘alaa an yab’atsa ‘alaikum ‘adzaaban min fawuqikum”. Beliau meng atakan, yaitu halilin tar, hujan batu dan angin topan. ” Awu min tajti arjulikum”, gempa dan tanah longsor.

Jelas lah, bahwa musibah-musibah yang ter jadi pada masa-masa ini di beberapa tem pat ter masuk ayat-ayat (tanda-tanda) kekuasaan yang digunakan untuk menakut-nakuti para ham baNya. Semua yang ter jadi di alam ini, (yakni) ber upa gempa, long sor, ban jir dan per itiwa lain yang menim bulkan bahaya bagi para hamba serta menim bulkan ber ba gai macam

pen deritaan, disebabkan oleh per buatan syirik dan mak siat. Seba gaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

” Dan musibah apa saja yang menimpa kalian, maka disebabkan oleh per buatan tangan kalian sen diri, dan Allah mema’afkan sebagianbesar (dari kesalahan-kesalahanmu)” [Asy-Syuura : 30]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

” Nik mat apapun yang kamu terima, maka itu dari Allah, dan ben cana apa saja yang menim pamu, maka itu karena (kesalahan) dirimu sen diri” [An-Nisaa : 79]

Ten tang umat-umat ter dahulu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami tim­pakan kepadanya hujan batu krikil, dan dian tara mereka ada yang ditimpa suara keras yang meng gun tur (halilin tar), dan dian tara mereka ada yang Kami benamkan kedalam bumi, dan di antara mereka ada yang kami teng gelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hen dak meng aniaya mereka, akan tetapi merekalah yang meng aniaya diri mereka sen diri” [Al-Ankabut : 40]

Maka wajib bagi setiap kaum Mus limin yang mukallaf dan yang lain nya, agar ber taubat kepada Allah Azza wa Jalla, kon sis­ten diatas diin (agama)Nya, serta was pada ter hadap semua yang dilarang, yaitu ber upa per buatan syirik dan mak siat. Sehingga, mereka selamat dari seluruh bahaya di dunia dan akhirat, serta Allah menolak semua adzab dari mereka, dan meng anugrahkan kepada mereka segala jenis kebaikan.

Seba gaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Sekiranya pen duduk negeri-negeri ber iman dan ber takwa, pas tilah Kami akan melim pahkan kepada mereka ber kah dari langit dan bumi, tetapi mereka men dus takan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan per­buatan nya” [Al-A’raaf : 96]

Allah Azza wa Jalla ber firman ten tang Ahli Kitab.

“Artinya : Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh men jalankan (hukum) Taurat, Injil dan (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada mereka dari Rabb-nya, niscaya mereka akan men dapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka”[Al-Maidah : 66]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Maka apakah pen duduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan sik saan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah pen duduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan sik saan Kami kepada mereka di waktu matahari sepeng gahan naik ketika mereka sedang ber main? Maka apakah mereka merasa aman dari adzab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari adzab Allah kecuali orang-orang yang merugi” [Al-A’raaf : 97–99]

Al-Alamah Ibnul Qayyim rahimahullah meng atakan : “Pada sebagian waktu, Allah Subhanahu wa Ta’ala mem berikan ijin kepada bumi untuk ber nafas, lalu ter jadilah gempa yang dahsyat. Dari per is tiwa itu, lalu tim bul rasa takut pada diri hamba-hamba Allah, taubat dan ber henti dari per batan mak siat, tun duk kepada Allah dan penyesalan. Seba gaimana per kataan ulama Salaf, pasca gempa. “Sesung guh nya Rabb kalian men cela kalian”, Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu, pasca gemba di Madinah menyam paikan khutbah dan nasihat ; beliau Radhiyallahu ‘anhu meng atakan, “Jika ter jadi gempa lagi, saya tidak akan meng ijinkan kalian ting gal di Madinah”. Selesai per kataan Ibnul Qayyim rahimahullah-.

Atsar-atsar dari Salaf ten tang hal ini sangat banyak. Maka saat ter jadi gempa atau per is tiwa lain, seperti ger hana, angin ribut atau ban jir, wajib segera ber taubat kepada Allah Azza wa Jalla, meren dahkan diri kepadaNya dan memohon afiyah kepadaNya, mem per banyak dzikir dan istighfar. Seba gaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ter jadi gerhana.

“Artinya : Jika kalian melihat hal itu, maka segeralah ber dzikir kepada Allah Azza wa Jalla, berdo’a dan ber is tighfar kepadaNya” [2]

Disun nahkan juga menyayangi fakir mis kin dan ber shadaqah kepada mereka. Ber dasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Kasihanilah, niscaya kalian akan dikasihani” [3]

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : orang yang menebar kasih sayang akan disayang oleh Dzat Yang Maha Penyayang. Kasihinilah yang di muka bumi, kalian pasti akan dikasihani oleh (Allah) yang di atas langit” [4]

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Orang yang tidak memiliki kasih sayang, pasti tidak akan disayang” [5]

Diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz rahimahulah, bahwa saat ter jadi gempa, dia menulis surat kepada pemerin tah daerah agar bershadaqah.

Dian tara fak tor ter selamatkan dari segala keburukan, yaitu pemerin tah segera memegang ken dali rakyat dan meng­haruskan agar kon sis ten dengan al-haq, menerapkan hukum Allah Azza wa Jalla, di tengah-tengah mereka, memerin­tahkan kepada yang ma’ruf serta men cegah kemung karan. Seba gaimana firman Allah Azza wa Jalla.

“Artinya : Dan orang-orang yang ber iman, lelaki dan per em puan, sebagian mereka (adalah) men jadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (meng er jakan) yang ma’ruf, men cegah dari yang mun kar, men dirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul Nya. Mereka itu akan diberi rah mat oleh Allah. Sesung guh nya Allah Maha Per kasa lagi Maha Bijakasana” [At-Taubah : 71]

Allah ber firman.

“Artinya : Sesung guh nya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)Nya. Sesung guh nya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Per kasa, (yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka men dirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh ber buat yang ma’ruf dan men cegah dari per buatan yang mung kar ; dan kepada Allah-lah kem bali segala urusan” [Al-Hajj : 40–41]

Allah Azza wa Jalla berfirman.

“Artinya : Barang siapa yang ber takwa kepada Allah, niscaya Dia akan meng adakan baginya jalan ke luar. Dan mem­berinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang ber tawak kal kepada Allah, niscaya Allah akan men cukupkan (keperluan)nya” [Ath-Thalaaq : 2–3]

Ayat-ayat ten tang ini sangat banyak.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Barang siapa menolong saudaranya, maka Allah Azza wa Jalla akan menolong nya” [Mut tafaq ‘Alaih] [6]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Barang siapa yang mem bebaskan satu kesusahan seorang muk min dari kesusahan-kesusahan dunia, maka Allah Azza wa Jalla akan melepas kan nya dari satu kesusahan di antara kesusahan-kesusahan akhirat. Barang siapa mem berikan kemudahan kepada orang yang kesulitan, maka Allah akan memudahkan dia di dunia dan akhirat. Barang­siapa yang menutup aib seorang mus lim, maka Allah Azza wa Jalla akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Dan Allah Azza wa Jalla akan selalu menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya” [Diriwayatkan oleh Imam Mus lim dalam Shahih-nya] [7]

Hadits-hadits yang semakna ini banyak.

Hanya kepada Allah kita memohon agar mem per baiki kon disi kaum Musimin, mem berikan pemahaman agama dan meng anugrahkan kekuatan untuk istiqomah, segera ber taubat kepada Allah Azza wa Jalla dari semua per buatan dosa. Semoga Allah memer baiki kon disi para penguasa kaum Mus limin, semoga Allah menolong al-haq melalui mereka serta meng hinakan kebathilan, mem bim bing mereka untuk menerapkan syari’at Allah Azza wa Jalla atas para hamba. Dan semoga Allah melin dungi mereka dan seluruh kaum Mus limin dari fit nah dan jebakan setan yang menyesatkan. Sesung­guh nya Allah Maha Ber kuasa untuk hal itu. [Majmu Fatawa wa Maqaalaat Mutanawwi’ah IX/148–152]

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 04/Th X/1427/2006M.Penerbit Yayasan Laj nah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gon dangrejo Solo 57183. Judul diatas disesuaikan oleh admin almanhaj]

_________

Foote Note

[1]. Dikeluarkan Imam Al-bukhari dalam kitab Tafsir Al-Qur’anil Azhim,no. 4262, dan diriwayatkan Imam Tir midi no. 2991

[2]. Diriwayatkan Imam Bukhari di dalam Al-Jum’ah,no. 999 dan Imam Mus lim dalam Al-Kusuf, no. 1518

[3]. Diriwayatkan Imam Ahmad, no. 6255

[4]. Diriwayatkan Imam Tir midzi di dalam Al-Birr wash Shilah, no. 1847

[5]. Diriwayatkan Imam Bukhari di dalam Al-Adab no. 5538, dan Imam

Tir midzi di dalam Al-Birr wash Shilah,no. 1834

[6]. Diriwayatkan Imam Bukhari dalam Al-Mazhalim wa Ghasab, no. 2262 dan Mus lim dalam Al-Birr wash Shilah wal Adab, no. 4677

[7]. Diriwayatkan Imam Mus lim, no. 4867 dan Imam Tir midzi dalam Al-Birr wash Shilah, no. 1853

METODE SALAF DALAM MENERIMA ILMU


"Syaikh Abdul Adhim Badawi"

(Sum ber : http://www.almanhaj.or.id/)

وَما كانَ لِمُؤمِنٍ وَلا مُؤمِنَةٍ إِذا قَضَى اللَّهُ وَرَسولُهُ أَمرًا أَن يَكونَ لَهُمُ الخِيَرَةُ مِن أَمرِهِم ۗ وَمَن يَعصِ اللَّهَ وَرَسولَهُ فَقَد ضَلَّ ضَلٰلًا مُبينًا

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi per em puan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) ten tang urusan mereka. Dan barang siapa men dur hakai Allah dan Rasul Nya maka sung guh lah dia telah sesat, sesat yang nyata” [Al-Ahzab : 36]

Dari fenomena yang tam pak pada saat ini, (kita menyak sikan) khutbah-khutbah, nasehat-nasehat, pelajaran-pelajaran banyak sekali, melebihi pada zaman para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tabi’in (orang-orang yang ber guru kepada para sahabat) serta tabiut tabiin (orang-orang yang ber guru kepada tabi’in). Namun ber samaan itu pula, amal per­buatan sedikit. Sering kali kita men dengarkan (per in tah Allah dan Rasul Nya) namun, sering juga kita tidak melihat ketaatan, dan sering kali kita meng etahuinya, namun sering kali juga kita tidak mengamalkan.

Inilah per bedaan antara kita dan sahabat-sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tabiin dan tabiut tabiin yang mereka itu hidup pada masa yang mulia. Sung guh pada masa mereka nasehat-nasehat, khutbah-khutbah dan pelajaran-pelajaran sedikit, hingga ber kata salah seorang sahabat.

” Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tat kala mem berikan nasehat men cari keadaan dimana kita giat, lan taran khawatir kita bosan” [Mut tafaqun Alaihi]

Di zaman para sahabat dahulu sedikit per kataan tetapi banyak per buatan, mereka meng etahui bahwa apa yang mereka dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wajib diamalkan, seba gaimana keadaan ten tara yang wajib melak­sanakan komando atasan nya di medan per tem puran, dan kalau tidak dilak sanakan kekalahan serta kehinaanlah yang akan dialami.

Para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu, menerima wahyu Allah ‘Azza wa Jalla dengan per an taraan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sikap men dengar, taat serta cepat meng amalkan. Tidaklah mereka ter­lam bat sedikitpun dalam meng amalkan per in tah dan larangan yang mereka dengar, dan juga tidak ter lam bat meng­amalkan ilmu yang mereka pelajari dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Inilah con toh yang menerangkan bagaimana keadaan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tat kala men dapatkan wahyu dari Allah ‘Azza wa Jalla. Para ahli tafsir menyebutkan ten tang sebab turun nya ayat dalam surat Al-Ahzab ayat 36 ini (dengan ber ba gai macam sebab) , saya merasa perlu untuk menukil nya, inilah sebab turun nya ayat itu :

Para ahli tafsir meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meng inginkan untuk meng han curkan adanya perbedaan-perbedaan ting katan (kasta) di antara manusia, dan melenyapkan peng halang antara fuqara (orang-orang fakir) dan orang-orang kaya. Dan juga antara orang-orang yang merdeka (yaitu bukan budak dan bukan pula keturunan nya), dengan orang-orang yang (men dapatkan nik mat Allah ‘Azza wa Jalla) men jadi orang merdeka sesudah dulunya men jadi budak.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin menerangkan kepada manusia bahwa mereka semua seperti gigi yang ter­susun, tidak ada keutamaan bagi orang Arab ter hadap selain orang Arab, dan tidak ada keutamaan atas orang yang ber­kulit putih ter hadap yang ber kulit hitam kecuali ketaqwaan (yang mem bedakan antara mereka). Seba gaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla.

يٰأَيُّهَا النّاسُ إِنّا خَلَقنٰكُم مِن ذَكَرٍ وَأُنثىٰ وَجَعَلنٰكُم شُعوبًا وَقَبائِلَ لِتَعارَفوا ۚ إِنَّ أَكرَمَكُم عِندَ اللَّهِ أَتقىٰكُم ۚ إِنَّ اللَّهَ عَليمٌ خَبيرٌ

” Hai manusia, sesung guh nya Kami men cip takan kamu dari seorang laki-laki dan seorang per em puan dan men jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal meng enal. Sesung guh nya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling ber takwa dian tara kamu. Sesung guh nya Allah Maha Meng etahui lagi Maha Meng enal” [Al-Hujurat : 13]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanamkan dalam hati manusia mabda’ (pon dasi) ini. Dan barang kali, dalam keadaan seperti ini, per kataan sedikit faedah dan pengaruh nya, yang demikian itu disebabkan karena fitrah manusia ingin menon jol dan cinta popularitas. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ber pen dapat untuk menanamkan pon dasi ini dalam jiwa-jiwa manusia dalam ben tuk amal per buatan (yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam wujudkan) dalam ling kungan keluarga serta kerabat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini dikarenakan amal per buatan lebih banyak mem beri kesan dan pengaruh yang men dalam dalam hati manusia, dari hanya sekedar ber bicara semata.

Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi kepada Zainab binti Jahsiy anak per em puan bibi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (kakek Zainab dan kakek Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sama yaitu Abdul Mut thalib seorang tokoh Quraisy) untuk meminang nya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin meng awin kan nya dengan budak beliau Zaid bin Haritsah yang telah diberi nik mat Allah men jadi orang merdeka (lan taran dibebaskan dari budak). Lalu tat kala beliau menyebutkan bahwa beliau akan menikahkan Zaid bin Haritsah dengan Zainab binti jahsiy, ber katalah Zainab binti Jahsiy : “Saya tidak mau menikah dengan nya”. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam men jawab : “Eng kau harus menikah dengan nya”. Dijawab oleh Zainab : “Tidak, demi Allah, selamanya saya tidak akan menikahinya”.

Ketika ber lang sung dialog antara Zainab dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Zainab men debat dan mem ban tah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian turunlah wahyu yang memutuskan per kara itu :

وَما كانَ لِمُؤمِنٍ وَلا مُؤمِنَةٍ إِذا قَضَى اللَّهُ وَرَسولُهُ أَمرًا أَن يَكونَ لَهُمُ الخِيَرَةُ مِن أَمرِهِم ۗ وَمَن يَعصِ اللَّهَ وَرَسولَهُ فَقَد ضَلَّ ضَلٰلًا مُبينًا

” Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi per em puan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) ten tang urusan mereka. Dan barang siapa men dur hakai Allah dan Rasul Nya maka sung guh lah dia telah sesat, sesat yang nyata” [Al-Ahzab : 36]

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mem bacakan ayat ter sebut kepada Zainab, maka ber katalah Zainab : “Ya Rasulullah ! apakah eng kau ridha ia men jadi suamiku ?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam men jawab : “Ya”, maka Zainab ber kata : “Jika demikian aku tidak akan men dur hakai Allah dan Rasul Nya, lalu akupun menikah dengan Zaid”.

Demikianlah Zainab binti Jahsiy menyetujui per in tah Allah dan Rasul Nya, dan hanyalah keadaan nya tidak setuju pada awal kalinya, lan taran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah menawarkan dan ber musyawarah dengan nya. Maka tat kala turun wahyu, per karanya bukan hanya per kara nikah atau meminang, setuju atau tidak setuju, tetapi (setelah turun­nya wahyu), per karanya ber ubah men jadi ketaatan atau ber mak siat kepada Allah dan RasulNya.

Tidak ada jalan lain didepan Zainab binti Jahsiy Radhiyallahu ‘anha (semoga Allah meridhainya), melainkan harus men­dengar dan taat kepada Allah dan Rasul Nya, dan kalau tidak taat maka ber arti telah dur haka kepada Allah dan Rasul Nya, sedangkan Allah berfirman.

“Artinya : Dan barang siapa men dur hakai Allah dan rasul Nya maka sung guh lah dia telah sesat, sesat yang nyata” [Al-Ahzab : 36]

Demikianlah , sikap para sahabat Nabi dahulu tat kala menerima wahyu dari Allah ‘Azza wa Jalla, adapun kita (ber beda sekali), tiap pagi dan petang telinga kita men dengarkan perintah-peritah serta larangan-larangan Allah dan Rasul Nya, akan tetapi seolah-olah kita tidak men dengar kan nya sedikitpun. Dan Allah Jalla Jalaluhu telah menerangkan bahwa manusia yang paling celaka adalah manusia yang tidak dapat meng am bil man faat suatu nasehat, Allah berfirman.

فَذَكِّر إِن نَفَعَتِ الذِّكرىٰ ﴿٩﴾ سَيَذَّكَّرُ مَن يَخشىٰ ﴿١٠﴾ وَيَتَجَنَّبُهَا الأَشقَى ﴿١١﴾ الَّذى يَصلَى النّارَ الكُبرىٰ ﴿١٢﴾ ثُمَّ لا يَموتُ فيها وَلا يَحيىٰ .١٣

” Oleh sebab itu ber ikanlah per ingatan karena per ingatan itu ber man faat, orang yang takut (kepada Allah) akan men dapat pelajaran, orang-orang yang celaka (kafir) akan men jauhinya. (Yaitu) orang yang akan memasuki api yang besar (neraka). Kemudian dia tidak mati di dalam nya dan tidak (pula) hidup” [Al-A’la : 9–13]

Dan Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan keadaan orang munafik tat kala mereka hadir dalam majelis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka hadir dengan hati yang lalai.

وَإِذا رَأَيتَهُم تُعجِبُكَ أَجسامُهُم ۖ وَإِن يَقولوا تَسمَع لِقَولِهِم ۖ كَأَنَّهُم خُشُبٌ مُسَنَّدَةٌ ۖ يَحسَبونَ كُلَّ صَيحَةٍ عَلَيهِم ۚ هُمُ العَدُوُّ فَاحذَرهُم ۚ قٰتَلَهُمُ اللَّهُ ۖ أَنّىٰ يُؤفَكونَ

” Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka men jadikan kamu kagum. Dan jika mereka ber kata kamu men dengarkan per kataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang ter san dar. Mereka meng ira bahwa tiap-tiap ter­iakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenar nya), maka was padalah ter hadap mereka ; semoga Allah mem binasakan mereka. Bagaimanakah mereka sam pai dipalingkan (dari kebenaran)?” [Al-Munafiqun : 4]

Lalu tat kala bubar dari majelis, mereka tidak memahami sedikitpun, Allah berfirman.

وَمِنهُم مَن يَستَمِعُ إِلَيكَ حَتّىٰ إِذا خَرَجوا مِن عِندِكَ قالوا لِلَّذينَ أوتُوا العِلمَ ماذا قالَ ءانِفًا ۚ أُولٰئِكَ الَّذينَ طَبَعَ اللَّهُ عَلىٰ قُلوبِهِم وَاتَّبَعوا أَهواءَهُم

“Dan di antara mereka ada orang yang men dengarkan per kataanmu sehingga apabila mereka keluar dari sisimu mereka ber kata kepada orang yang lebih diberi ilmu pengetahuan (sahabat-sahabat Nabi) : ‘Apakah yang dikatakan tadi ?’ Mereka itulah orang-orang yang dikunci mati hati mereka oleh Allah dan meng ikuti hawa nafsu mereka” [Muham mad : 16]

Takut lah ter hadap diri-diri kalian ! (wahai hamba Allah), dari keadaan yang ter jadi pada orang-orang munafik, ber usaha dan ber semangat lah untuk ber sikap seba gaimana para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketahuilah ! seba gaimana Allah ‘Azza wa Jalla telah men cela orang-orang yang ber paling dan lalai, sung guh Allah ‘Azza wa Jalla memuji orang-orang yang men dengarkan per kataan lalu memahami seperti yang dimak sud oleh Allah ‘Azza wa Jalla, lalu meng amal kan nya, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman.

وَالَّذينَ اجتَنَبُوا الطّٰغوتَ أَن يَعبُدوها وَأَنابوا إِلَى اللَّهِ لَهُمُ البُشرىٰ ۚ فَبَشِّر عِبادِ ﴿١٧﴾ الَّذينَ يَستَمِعونَ القَولَ فَيَتَّبِعونَ أَحسَنَهُ ۚ أُولٰئِكَ الَّذينَ هَدىٰهُمُ اللَّهُ ۖ وَأُولٰئِكَ هُم أُولُوا الأَلبٰبِ .١٨

“Sebab itu sam paikanlah berita itu kepada hamba-hambaKu, yang men dengarkan per kataan lalu meng ikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petun juk dan mereka itulah orang-orang yang mem punyai akal” [Az-Zumar : 17–18]

Ketahuilah wahai hamba Allah yang mus lim, bahwa tidak ada pilihan bagi kalian ter hadap per in tah Allah yang diperin­tahkan kepadamu ! tidak ada lagi pilihan bagimu ! baik eng kau ker jakan ataupun tidak.

Tidak ada lagi pilihan bagimu ter hadap larangan Allah ‘Azza wa Jalla yang eng kau dilarang darinya ! baik eng kau ting galkan ataupun tidak ! Eng kau dan apa yang eng kau miliki semuanya adalah milik Allah ‘Azza wa Jalla eng kau hamba Allah, dan Allah ‘Azza wa Jalla adalah tuanmu. Bagi seorang hamba, hen dak nya men camkan dalam dirinya untuk men dengar dan taat kepada per in tah tuan nya, sekalipun per in tah itu nam pak berat atas dirinya. Dan kalau tidak taat, tentu akan men dapatkan murka dari majikannya.

Dan Allah ‘Azza wa Jalla telah meniadakan keimanan dari orang-orang yang tidak ridha dengan hukum Nya dan tidak tun duk kepada Rasul Nya dan per in tah Rasul Nya, Allah berfirman.

“Artinya : Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi per em puan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) ten tang urusan mereka. Dan barang siapa men dur hakai Allah dan Rasul Nya maka sung guh lah dia telah sesat, sesat yang nayata” [Al-Ahzab : 36]

Sesudah itu, hen daklah anda (wahai para pem baca yang mulia) ber sama dengan saya mem per hatikan per ban dingan ini :

Kita tadi telah meng atakan : Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi ke Zainab binti Jahsiy Radhiyallahu ‘anha untuk meminang nya bagi Zaid bi Haritsah. Awal nya Zainab menolak, karena pinangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya ber sifat menolong semata, (bukan per in tah). Maka tat kala turun ayat, ber ubah lah per karanya men jadi per­in tah untuk taat (kepada Allah dan RasulNya).

Tidak ada keleluasaan bagi zainab binti Jahsiy sesudah turun nya ayat itu, kecuali (harus) men dengar dan taat. Dan kalaulah per karanya hanya menolong semata, tentu Zainab binti Jahsiy ber hak menolak (jika tidak setuju), karena seorang wanita ber hak memilih calon suami, seba gaimana lelaki memilih calon istri, dan inilah yang ter jadi pada kisah Barirah :

Dan kisah nya Barirah adalah seba gaimana diriwayatkan Imam Bukhari : “Bahwa ‘Aisyah Ummul Mu’minin Radhiyallahu ‘anha mem beli seorang budak ber nama Barirah, lalu ‘Aisyah memerdekakan nya. Barirah ini mem punyai suami ber nama Mughis (dan ia juga seorang budak). Maka tat kala dimerdekakan Barirah mem punyai hak untuk memilih, apakah ia tetap ber dam pingan dengan suaminya (yang seorang budak), atau ber cerai. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mem­berikan pilihan baginya. Ter nyata Barirah memilih untuk ber cerai dengan suaminya.

Adapun suaminya, sung guh sangat men cin tainya dengan kecin taan yang sangat. Hingga tat kala Barirah memilih ber cerai dengan nya, ia berjalan-jalan di belakang Barirah di kampung-kampung kota Madinah dalam keadaan menangis. Maka tat­kala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat keadaan nya itu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ber kata kepada paman beliau Abbas : “Tidak kah eng kau heran ter hadap kecin taan Mughis kepada Barirah ? sedang Barirah tidak menyukai Mughis ?” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ber kata kepada Barirah : “Wahai Barirah, meng apa eng­kau tidak kem bali kepada sumimu?” sesung guh nya ia adalah suamimu dan ayah dari anak-anakmu!” Maka Barirah ber­kata : “Wahai Rasulullah, apakah eng kau memerin tah atau hanya meng ajurkan saja ?”

Allahu Akbar !! per hatikanlah wahai para pem baca per tanyaan Barirah ini !! Wahai Rasulullah, apakah eng kau memerin tah ? Sehingga aku tidak ber hak menyelisihi per in tahmu ? atau eng kau hanya meng an jurkan saja sehingga aku boleh ber pen­dapat dengan pikiranku? Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ber sabda : “Aku hanya meng ajurkan saja !”. Barirah ber­kata : “Aku tidak mem butuhkan suamiku lagi !!”

Disini kami ber kata : “Per tama kali Zainab binti Jahsiy menolak untuk menikah dengan Zaid bin Haritsah, karena masalah­nya hanyalah anjuran semata, maka tat kala turun wahyu per karanya ber ubah men jadi ketaatan atau maksiat.

Zainab binti Jahsiy ber kata : “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apakah eng kau meridhai aku menikah dengan nya ?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam men jawab : “Ya”. Jika demikian aku tidak akan men dur hakai Allah dan RasulNya.

Dan juga ter hadap Barirah, tat kala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menawarkan agar ia kem bali kepada suaminya, ayah dari anak-anaknya yang tidak dapat ber sabar untuk ber pisah dengan nya, Barirah meminta pen jelasan : “Apakah eng kau menyuruhku wahai Rasulullah ?” Sehingga tidak ada keleluasaan bagiku kecuali harus men dengar dan taat ? Maka tat kala Rasulullah ber sabda : “Aku hanya meng an jurkan” ber katalah Barirah : “Aku tidak mem butuh kan nya lagi”.

Demikianlah adab para Sahabat ter hadap Allah dan Rasul nya, serta ber agama karena Allah dan Rasul Nya dengan sikap men dengar dan taat, maka Allah meng uasakan kepada mereka dunia ini, dan masuklah manusia ditangan mereka kepada agama Allah secara berbondong-bondong. Adapun kita, tat kala tidak ber adab kepada Allah dan Rasul Nya, kita bim­bang dan menimbang-nimbang antara per in tah dan larangan-laranganNya (kita ker jakan atau tidak kita ker jakan), maka jadilah keadaan kita ini seba gaimana yang kita sak sikan saat ini, maka demi Allah, kepadaNya-lah kalian mohon per­tolongan, wahai kaum muslimin !

وَأَنيبوا إِلىٰ رَبِّكُم وَأَسلِموا لَهُ مِن قَبلِ أَن يَأتِيَكُمُ العَذابُ ثُمَّ لا تُنصَرونَ

“Dan kem balilah kamu kepada Tuhanmu, dan ber serah dirilah kepadaNya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi)” [Az-Zumar : 54]

وَتوبوا إِلَى اللَّهِ جَميعًا أَيُّهَ المُؤمِنونَ لَعَلَّكُم تُفلِحونَ

“Artinya : Dan ber taubat lah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang ber iman supaya kamu ber un tung” [An-Nuur : 31]


[Disalin dari Majalah Adz-Dzkhiirah Al-Islamiyah Edisi : Th. 1/No. 04/ 2003 — 1424H, Diter bitkan : Ma’had Ali Al-Irsyad surabaya. Alamat Redaksi Per pus takaan Bahasa Arab Ma’had Ali Al-Irsyad, Jl Sultan Iskan dar Muda 46 Surabaya]


Senin, 08 November 2010

DONASI KORBAN MERAPI 2010



DONASI KORBAN MERAPI 2010
RADIO
SUARA QUR'AN 94,4 FM


Ribuan Pengungsi Membutuhkan Segera Bantuan Anda
Bahan makanan, Selimut, Sarung, Mukena Dan Dana Operasional Kami Salurkan Melalui Posko Pengungsian Yang Dikoordinasi Oleh Para Ustadz Di Daerah Magelang


DONASI BERUPA UANG

MELALUI


BANK MANDIRI NO. 136 000 722 8577

Atas Nama M. Wujud


BANK BCA KCP TIDAR MAGELANG

NO. 344 026 9124

Atas Nama M. Wujud



DONASI BERUPA BARANG
HUBUNGI

USTADZ HADID SYAIFUL ISLAM

(0813 2913 1470)


BANTUAN JUGA BISA DIKIRIM MELALUI

PERWAKILAN KAMI

SOLO (0878 3623 5468)
SRAGEN (0813 2925 0400)

SUKOHARJO (0852 9315 5252)

KARANGANYAR (0852 932 552 533)
KLATEN (0815 7850 6253)
BOYOLALI (0815 6733 189)
MADIUN (0812 5933 9111)



RADIO SUARA QUR'AN 94,4 FM

TANGGAP BENCANA MERAPI 2010




Untuk menyikapi bencana meletusnya Gunung Merapi, Anda dapat menyalurkan donasi untuk meringankan beban saudara-saudara kita kaum Muslimin melalui program

"TANGGAP BENCANA MERAPI 2010"

Yang Dikoordinasi Oleh Yayasan Pendidikan Islam Al-Atsari (YPIA) Yogyakarta

Anda dapat menyalurkan bantuan melalui kami dalam bentuk uang.

Bantuan dapat disalurkan ke:

Rekening BNI UGM Yogyakarta

Nomor rekening 0125792540 a.n. Devi Novianti

Rekening Bank Syari’ah Mandiri Cabang 094 Kaliurang Yogyakarta

Nomor rekening 0947008920 a.n. Ginanjar Indrajati Bintoro

Rekening Bank Mandiri Cabang Yogyakarta Gedung Magister 13705

Nomor rekening 137-00-065.4879-2 a.n. Bintoro

Rekening BCA

Nomor rekening 0130537146 a.n. Hanif Nur Fauzi


Bagi anda yang telah berpartisipasi, harap mengkonfirmasikan diri kepada kami melalui sms dengan format sebagai berikut:

Nama/Alamat/TanggalKirim/JumlahUang/RekeningTujuan/Merapi

Kirim Ke nomor

0852 5205 2345 (Wiwit Hardi P.)

atau

0856 4305 2159 (Nizamul Adli)


Atas partisipasi dan perhatian anda kami ucapkan jazaakumullahu khairaa..

-Donasi Peduli Umat-

Divisi Dakwah Masyarakat

Yayasan Pendidikan Islam Al-Atsari

http://muslim.or.id/dari-redaksi/tanggap-bencana-merapi-2010.html

Senin, 27 September 2010

SUDAH SAATNYA MENYADARI HAKEKAT AJARAN SUFI

SAATNYA MENYADARI HAKEKAT AJARAN SUFI

(Oleh: Ustadz Abul Hasan Abdullah Taslim)

Sumber : Majalah As-Sunnah


PENDAHULUAN

Istilah “sufi” atau “tasawwuf” tentu sangat dikenal di kalangan kita, terlebih lagi di kalangan masyarakat kebanyakan. Istilah ini sangat diagungkan dan selalu diidentikkan dengan kewalian, kezuhudan dan kesucian jiwa. Bahkan mayoritas masyarakat beranggapan bahwa seseorang tidak akan bisa mencapai hakikat takwa tanpa melalui jalan tasawwuf. Opini ini diperkuat dengan melihat penampilan lahir yang selalu ditampakkan oleh orang-orang yang mengaku sebagai ahli tasawwuf, berupa pakaian lusuh dan usang, biji-bijian tasbih yang selalu melekat di tangan, dan bibir yang senantiasa komat-kamit melafazhkan dzikir. Semua ini semakin menambah keyakinan bahwasanya merekalah orang-orang yang benar-benar telah mencapai derajat wali (kekasih) Allâh Ta'ala.

Sebelum membahas tentang hakikat tasawwuf yang sebenarnya, kami ingin mengingatkan kembali bahwa penilaian benar atau tidaknya suatu pemahaman bukan hanya dilihat dari pengakuan lisan atau penampilan lahir semata. Barometer sesuai tidaknya pemahaman tersebut, ialah menakarnya dengan Al-Qur‘ân dan Sunnah menurut yang dipahami oleh Salafush-Shalih.

Imam al-Barbahâri rahimahullâh mengikrarkan prinsip ini dalam kitabnya, Syarh as-Sunnah dengan ucapan beliau:

“Perhatikan dan cermatilah –semoga Allâh Ta'ala merahmatimu– semua orang yang menyampaikan satu ucapan/pemahaman di hadapanmu, maka jangan sekali-kali engkau terburu-buru untuk membenarkan dan mengikuti ucapan/pemahaman tersebut, sampai engkau tanyakan dan meneliti kembali, apakah ucapan/pemahaman tersebut pernah disampaikan oleh para sahabat Rasulullah radhiyallâhu'anhum atau pernah disampaikan oleh ulama Ahlus-Sunnah? Kalau engkau mendapatkan ucapan/pemahaman tersebut sesuai dengan pemahaman mereka, (maka) berpegang teguhlah engkau dengan ucapan/pemahaman tersebut, dan janganlah (sekali-kali) engkau meninggalkannya dan memilih pemahaman lain, sehingga (akibatnya) engkau akan terjerumus ke dalam neraka!” [1]

Setelah prinsip di atas jelas, sekarang kami akan membahas tentang hakikat tasawwuf, agar kita bisa melihat dan menilai dengan jelas benar atau tidaknya ajaran tasawwuf ini.





LAHIRNYA AJARAN TASHAWWUF

Tasawwuf adalah istilah yang sama sekali tidak dikenal pada zaman para sahabat radhiyallâhu'anhum, bahkan tidak dikenal pada zaman tiga generasi yang utama (generasi Sahabat, Tâbi’in dan Tabi’it Tâbi’in). Ajaran ini baru muncul sesudah masa tiga generasi ini. [2]

Pertama kali muncul di kota Bashrah, Irak, yang dimulai dengan timbulnya sikap berlebih-lebihan dalam zuhud dan ibadah yang tidak terdapat di kota-kota (Islam) lainnya. [3]

Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullâh berkata dalam kitab at-Tashawwuf, al-Mansya’ wa al-Mashdar (hlm. 28):

“Ketika kita mengamati lebih dalam ajaran-ajaran tasawwuf klasik maupun modern, dan ucapan-ucapan mereka yang dinukil dan diriwayatkan dalam kitab-kitab tasawwuf yang dulu maupun sekarang, kita akan melihat suatu perbedaan yang sangat jelas antara ajaran tersebut dengan ajaran Al-Qur`ân dan Sunnah. Dan sama sekali, tidak pernah kita dapati bibit dan cikal bakal ajaran tasawwuf ini dalam perjalanan sejarah Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan para sahabat beliau radhiyallâhu'anhum yang mulia, orang-orang yang terbaik dan pilihan dari hamba-hamba Allâh Ta'ala. Justru sebaliknya, kita dapati ajaran tasawwuf ini diambil dan dipungut dari kependetaan model Nashrani, dari kebrahmanaan model agama Hindu, peribadatan model Yahudi, dan zuhud model agama Budha”. [4]

Dari keterangan yang kami nukilkan di atas, jelaslah bahwa tasawwuf adalah ajaran yang menyusup ke dalam Islam. Hal ini nampak jelas pada amalan-amalan yang dilakukan oleh orang-orang ahli tasawwuf, amalan-amalan ibadah yang asing dan jauh dari petunjuk Islam.



PRINSIP-PRINSIP DASAR AJARAN TASHAWWUF
YANG MENYIMPANG DARI PETUNJUK AL-QUR‘ÂN DAN SUNNAH [5]


Orang-orang ahli tashawwuf –khususnya yang ada pada zaman sekarang– mempunyai prinsip dasar dan metode khusus dalam memahami dan menjalankan agama ini, yang sangat bertentangan dengan prinsip dan metode Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, dan menyimpang sangat jauh dari Al- Qur‘ân dan Sunnah, yang dapat disimpulkan sebagai berikut:


1 . Mereka membatasi ibadah hanya pada aspek al-mahabbah (kecintaan) saja dengan mengenyampingkan aspek-aspek lainnya, seperti aspek al-khauf (rasa takut) dan arraja‘ (pengharapan), sebagaimana terlihat dalam ucapan beberapa orang ahli tashawwuf:

“Aku beribadah kepada Allâh Ta'ala, bukan karena aku mengharapkan masuk surga, dan juga bukan karena takut masuk neraka”. (!?)

Memang benar, aspek al-mahabbah merupakan landasan ibadah. Akan tetapi, ibadah itu tidak hanya terbatas pada aspek al-mahabbah saja, seperti persepsi orang-orang ahli tashawwuf. Karena, ibadah itu memiliki banyak jenis dan aspek yang melandasinya selain aspek al-mahabbah, misalnya aspek al-khauf, ar-raja‘, adz-dzull (penghinaan diri), al-khudhû‘ (ketundukkan), do’a, dan aspek-aspek lainnya.

Salah seorang ulama Salaf berkata:

“Barang siapa yang beribadah kepada Allâh Ta'ala dengan kecintaan semata, maka dia adalah seorang zindiq (kafir). Barang siapa yang beribadah kepada Allâh Ta'ala dengan pengharapan semata, maka dia adalah seorang Murji’ah. Barang siapa yang beribadah kepada Allâh Ta'ala dengan ketakutan semata, maka dia adalah seorang Harûriyyah (Khawarij). Dan barang siapa yang beribadah kepada Allâh Ta'ala dengan kecintaan, ketakutan dan pengharapan, maka dialah seorang mukmin sejati dan muwahhid (orang yang bertauhid dengan benar)”.

Oleh karena itu, Allâh Ta'ala memuji sifat para nabi dan rasul-Nya yang mereka senantiasa berdoa kepada-Nya dengan perasaan takut dan berharap, dan mereka adalah orang-orang yang selalu mengharapkan rahmat-Nya dan takut terhadap siksaan-Nya. [6]




2 . Orang-orang ahli tashawwuf, umumnya, dalam menjalankan agama dan melaksanakan ibadah tidak berpedoman kepada Al-Qur‘ân dan Sunnah, tetapi, pedoman mereka adalah bisikan jiwa dan perasaan mereka, serta ajaran yang digariskan oleh pimpinan-pimpinan mereka.

Konkretnya dalam bentuk tarikat-tarikat bid’ah, berbagai macam dzikir dan wirid yang mereka ciptakan sendiri. Tidak jarang pula mereka mengambil pedoman dari cerita-cerita khurafat (yang tidak jelas kebenarannya), mimpi-mimpi, bahkan hadits-hadits palsu untuk membenarkan ajaran dan keyakinan mereka.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh berkata :

“Orang-orang ahli tashawwuf, dalam beragama dan mendekatkan diri kepada Allâh Ta'ala, (mereka) berpegang teguh pada suatu pedoman seperti pedoman yang dipegang oleh orang-orang Nashrani. Yaitu ucapan-ucapan yang tidak jelas maknanya, dan cerita-cerita yang bersumber dari orang yang tidak dikenal kejujurannya. Kalaupun ternyata orang tersebut jujur, tetap saja dia bukan seorang (nabi/rasul) yang terjaga dari kesalahan. Maka (demikian pula yang dilakukan orang-orang ahli tashawwuf), mereka menjadikan para pemimpin dan guru-gurunya sebagai penentu/pembuat syari’at agama bagi mereka, sebagaimana orang-orang Nashrani menjadikan para pendeta dan rahib mereka sebagai penentu/ pembuat syari’at agama bagi mereka”




3 . Termasuk doktrin ajaran tashawwuf, ialah keharusan berpegang teguh dengan dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang ditentukan dan diciptakan oleh guru-guru thariqat mereka. Hingga merasa cukup dengan produk dzikir-dzikir tersebut, beribadah dan mendekatkan diri kepada Allâh Ta'ala dengan selalu membacanya.

Bahkan tidak jarang mereka mengklaim bahwa membaca dzikir-dzikir tersebut lebih utama daripada membaca Al-Qur‘ân, dan mereka menamakannya dengan “dzikirnya orang-orang khusus”. Adapun zikir-zikir yang tercantum dalam Al-Qur‘ân dan Sunnah, mereka namakan dengan “dzikirnya orang-orang umum”.

Kalimat thayyibah (lâ ilaha illallah), menurut mereka termasuk “dzikirnya orang-orang umum”. Adapun “dzikirnya orang-orang khusus” ialah melantunkan kata tunggal (الله) dengan berulang-ulang. Lebih aneh lagi, mengulang-ulang kata (هُوَ/Dia), mereka sebut sebagai “dzikirnya orang-orang khusus yang lebih khusus”.

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh berkata :

“Barang siapa yang beranggapan bahwa kalimat Lâ ilaha Illallâh adalah dzikirnya orang-orang umum, dan dzikirnya orang-orang khusus adalah kata tunggal (الله), serta dzikirnya orang- orang khusus yang lebih khusus adalah kata ganti (هُوَ/Dia), maka dia adalah orang yang sesat dan menyesatkan”.




4 . Sikap ghuluw (berlebih-lebihan/ekstrim) orang-orang ahli tashawwuf terhadap orang-orang yang mereka anggap telah mencapai kedudukan ‘wali’ atau terhadap guru-guru tarikat mereka. Pengertian wali dalam kamus mereka bertentangan dengan apa yang ditetapkan oleh Al--Qur‘ân.

Wali (kekasih) Allâh Ta'ala adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya tunduk (kepada Allâh Ta'ala). Dan merupakan kewajiban kita untuk mencintai, menghormati dan meneladani mereka. Perlu ditegaskan di sini, bahwa derajat kewalian itu tidak hanya dikhususkan bagi orang- orang tertentu saja. Akan tetapi, setiap orang yang beriman dan bertakwa, maka ia adalah wali (kekasih) Allâh Ta'ala.

Kedudukan sebagai wali Allâh Ta'ala juga tidak menjadikan diri seseorang terpelihara dari kesalahan dan kekhilafan. Inilah makna wali dan kewalian, dan kewajiban kita terhadap mereka, menurut pemahaman Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.

Adapun makna “wali” menurut kalangan ahli tashawwuf sangat berbeda dengan pemahaman Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Orang-orang ahli tashawwuf memiliki beberapa kriteria dan pertimbangan tertentu (yang bertentangan dengan petunjuk Al-Qur`ân dan Sunnah) dalam masalah ini. Mereka menobatkan derajat kewalian hanya kepada orang-orang tertentu saja tanpa dilandasi dengan dalil syari’at yang menunjukkan kewalian orang-orang tersebut.

Bahkan, tidak jarang, mereka menobatkan derajat kewalian kepada orang yang tidak dikenal keimanan dan ketakwaannya, atau kepada orang yang dikenal mempunyai penyimpangan dalam keimanan. Seperti orang yang melakukan praktek perdukunan, sihir dan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allâh Ta'ala, melakukan hal-hal yang aneh-aneh atau di luar kebiasaan.

Kita dapat menjumpai mayoritas orang-orang ahli tashawwuf menobatkan seseorang sebagai “wali” hanya dikarenakan orang tersebut mampu menyingkap tabir dalam suatu masalah, atau orang tersebut melakukan sesuatu yang di luar kemampuan manusia. Seperti terbang di udara menuju ke Makkah atau tempat-tempat lainnya.

Terkadang berjalan di atas air, ketika ada orang yang meminta pertolongan kepadanya dari tempat yang jauh atau setelah dia mati, maka orang itu melihatnya datang dan menyelesaikan keperluannya, memberitahukan tempat barang-barang yang dicuri, memberitakan halhal yang ghaib (tidak nampak), dan lain-lain. Padahal, kemampuan melakukan hal-hal ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa pelakunya adalah wali Allâh Ta'ala.

Kaum mukminin telah sepakat dan sependapat mengatakan, jika ada orang yang mampu terbang di udara atau berjalan di atas air, maka kita tidak boleh terpedaya dengan penampilan tersebut sampai kita melihat, apakah perbuatannya sesuai dengan Sunnah Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam? Apakah orang tersebut selalu mentaati perintah beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan menjauhi larangannya?

Karena hal-hal yang di luar kemampuan manusia ini bisa dilakukan oleh banyak orang kafir, musyrik, ahli kitab, ataupun orang munafik. Bisa juga dilakukan oleh para pelaku bid’ah dengan bantuan setan/jin.

Oleh karena itu, setiap orang yang mampu melakukan hal-hal di atas, sama sekali, tidak boleh dianggap sebagai wali Allâh. [7]

Kesesatan orang-orang ahli tashawwuf tidak sampai di sini saja. Sebab, sikap mereka yang berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam mengagungkan orang-orang yang mereka anggap sebagai “wali”, sampai-sampai mereka menganggap “para wali” tersebut memiliki sifat-sifat ketuhanan, seperti mengetahui hal-hal yang ghaib. Pada gilirannya, menjerumuskan mereka ke dalam perbuatan syirik dengan menjadikan “para wali” tersebut sebagai sesembahan selain Allâh Ta'ala.




5 . Termasuk doktrin ajaran tashawwuf yang sesat adalah mendekatkan diri kepada Allâh Ta'ala dengan nyanyian, tarian, tabuhan rebana dan bertepuk tangan. Semua ini mereka anggap sebagai amalan ibadah kepada Allâh Ta'ala (?!).

Dr. Shâbir Thu’aimah berkata dalam kitab ash- Shûfiyyah, Mu’taqadan wa Maslakan:

“Saat ini, tarian shufi modern telah dipraktekkan oleh mayoritas tarikat Shufiyyah dalam pesta-pesta perayaan ulang tahun beberapa tokoh mereka. Para pengikut thariqat berkumpul untuk mendengarkan nada-nada musik, yang terkadang didendangkan oleh lebih dari dua ratus pemain musik pria dan wanita. Sedangkan para murid senior, dalam pesta ini duduk sambil mengisap berbagai jenis rokok, dan para tokoh senior beserta para pengikutnya membacakan beberapa kisah khurafat (bohong) yang terjadi pada sang tokoh yang telah meninggal dunia…”.




6 . Juga termasuk doktrin ajaran tashawwuf yang sesat, yaitu apa yang mereka namakan sebagai suatu keadaan/tingkatan, yang jika seseorang telah mencapainya, maka ia akan bebas dari kewajiban melaksanakan syariat Islam. Keyakinan ini muncul sebagai hasil dari perkembangan ajaran tashawwuf. Karena asal mula ajaran tashawwuf ialah melatih jiwa dan menundukkan watak dengan berupaya memalingkannya dari akhlak-akhlak yang jelek, dan membawanya pada akhlak-akhlak yang baik, seperti sifat zuhud, tenang, sabar, ikhlas dan jujur, menurut klaim mereka.

Tidak diragukan lagi –menurut pandangan orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang beriman– bahwa ucapan ini termasuk kekufuran yang paling besar. Bahkan ucapan ini lebih buruk dari pada ucapan orang-orang Yahudi dan Nashrani. Karena orang-orang Yahudi dan Nashrani, mereka mengimani sebagian (isi) kitab suci mereka dan mengingkari sebagian lainnya. Dan mereka itulah orang-orang kafir yang sebenarnya. Mereka juga membenarkan perintah dan larangan Allâh Ta'ala, meyakini janji dan ancaman-Nya.

Kesimpulannya, orang-orang Yahudi dan Nashrani yang berpegang pada ajaran agama mereka yang telah dihapus (dengan datangnya agama Islam) dan telah mengalami perubahan dan rekayasa, mereka ini lebih baik (keadaannya) dibandingkan orang-orang yang menyangka bahwa mereka telah bebas dari kewajiban melaksanakan perintah Allâh Ta'ala secara keseluruhan. Karena dengan keyakinan tersebut, berarti mereka telah keluar dari ajaran semua kitab suci, semua syariat dan semua agama.

Mereka sama sekali tidak berpegang kepada perintah dan larangan Allâh Ta'ala. Bahkan mereka lebih buruk dari orang-orang musyrik yang masih berpegang kepada sebagian dari ajaran agama yang terdahulu, seperti orang-orang musyrik bangsa Arab yang masih berpegang dengan sebagian dari ajaran Nabi Ibrahim 'alaihissalam.

Untuk membenarkan keyakinan tersebut, di antara mereka ada yang berargumentasi dengan firman Allâh Ta'ala berikut ini :

(Qs. al-Hijr/15 : 99)

"Beribadahlah kepada Rabbmu sampai datang kepadamu sesuatu yang diyakini (kematian)"

(Qs. al-Hijr/15 : 99)

Kata mereka :

“Makna ayat di atas ialah, sembahlah Rabb-mu sampai kamu (mencapai tingkatan) ilmu dan ma’rifat, dan jika kamu telah mencapainya maka gugurlah (kewajiban melaksanakan) ibadah atas dirimu …”

Padahal pada hakikatnya, ayat ini justru menyanggah anggapan pandangan mereka.

Dikatakan oleh Hasan al-Bashri rahimahullâh :

“Sesungguhnya Allâh Ta'ala tidak menjadikan bagi amalan orang-orang yang beriman batas akhir kecuali kematian,”

Kemudian Hasan al-Bashri rahimahullâh membaca ayat di atas

Jadi, ayat di atas sangat jelas menunjukkan kewajiban setiap orang untuk selalu beribadah sejak dia mencapai usia dewasa dan berakal, sampai ketika kematian datang menjemputnya. Dalam ajaran Islam, sama sekali tidak ada yang dinamakan dengan tingkatan/keadaan, yang jika seseorang telah mencapainya maka gugurlah kewajiban beribadah atasnya, sebagaimana persangkaan orang-orang ahli tashawwuf.



PENUTUP

Setelah pembahasan di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa ajaran tashawwuf merupakan ajaran sesat yang menyimpang, sangat jauh dari petunjuk Al-Qur‘ân dan Sunnah. Dengan mengamalkan ajaran ini –na’udzu billah min dzalik– seseorang bukannya semakin dekat dengan Allâh Ta'ala, tetapi justru semakin jauh dari-Nya. Dan hatinya, bukan semakin bersih, akan tetapi malah semakin kotor dan penuh noda.

Kemudian, jika muncul pertanyaan :

“Kalau begitu, bagaimana usaha yang harus kita lakukan untuk mensucikan jiwa dan hati kita?”

Maka jawabannya :

"sangat sederhana, yaitu pelajari dan amalkan syari’at Islam ini lahir dan batin; dengan itulah jiwa dan hati kita akan bersih.[8] Karena di antara tugas utama yang dibawa para rasul ialah mensucikan jiwa dan hati manusia dengan mengajarkan kepada mereka syariat Allâh Ta'ala"

Allâh Ta'ala berfirman, yang artinya :

“Sungguh Allâh telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman
ketika Allâh mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri,
yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allâh,
membersihkan (jiwa) mereka,
dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunnah).
Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu,
mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”

(Qs. Ali ‘Imrân/3 ayat 164)

Maka, orang yang paling banyak memahami dan mengamalkan petunjuk Al-Qur‘an dan Sunnah dengan baik dan benar, maka dialah yang paling bersih, suci hati dan jiwanya. Dan dialah yang paling bertakwa kepada Allâh Ta'ala. Karena semua orang berilmu sepakat mengatakan, bahwa penghalang utama yang menghalangi seorang manusia dekat dengan Allâh Ta'ala ialah (kekotoran) jiwanya. [9]



[1]
Syarh as-Sunnah, Imam al-Barbahâri (hlm. 61), Tahqiq: Syaikh Khâlid ar-Raddâdi.
[2]
Lihat Haqîqat ash-Shufiyyah, hlm. 14.
[3]
Majmu’ al-Fatâwa, 11/6.
[4] Ibid., hlm. 14.
[5]
Ringkasan dari pembahasan “Mauqif ash-Shûfiyyah min al ‘Ibâdah wa ad-Dîn”, oleh Syaikh Shâlih al-Fauzân dalam kitabnya, Haqiqat at-Tashawwuf, hlm. 17-38, dengan sedikit perubahan.
[6]
Lihat, misalnya firman Allâh Ta'ala dalam surat al-Anbiyâ‘/21 ayat 90, dan ayat-ayat lainnya.
[7]
Majmu’ al-Fatâwa, 11/215.
[8]
Untuk lebih jelasnya, silahkan menelaah kitab Manhajul Anbiyâ‘ fî Tazkiyatin-Nufûs, karya Syaikh Salîm al-Hilâli, yang ditulis khusus untuk menjelaskan permasalahan penting ini.
[9]
Seperti disimpulkan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh dalam kitabnya, Ighatsatul-Lahafân dan al-Fawâ’id.



Rabu, 01 September 2010

MENGGAPAI MALAM 1000 BULAN

MENGGAPAI
MALAM 1000 BULAN

(Penulis : Muhammad Abduh Tuasikal)
Artikel www.muslim.or.id

Keutamaan Lailatul Qadar

Mengenai pengertian lailatul qadar, para ulama ada beberapa versi pendapat. Ada yang mengatakan bahwa malam lailatul qadr adalah malam kemuliaan. Ada pula yang mengatakan bahwa lailatul qadar adalah malam yang penuh sesak karena ketika itu banyak malaikat turun ke dunia. Ada pula yang mengatakan bahwa malam tersebut adalah malam penetapan takdir. Selain itu, ada pula yang mengatakan bahwa lailatul qadar dinamakan demikian karena pada malam tersebut turun kitab yang mulia, turun rahmat dan turun malaikat yang mulia (Periksa Zaadul Maysir, 6/177, Ibnul Jauziy, Mawqi’ At Tafaasir, Asy Syamilah).

Semua makna lailatul qadar yang sudah disebutkan ini adalah benar.

Adapun keutamaan lailatul qadar adalah:

Pertama, lailatul qadar adalah malam yang penuh keberkahan (bertambahnya kebaikan). Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ , فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ

“Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al Qur’an) pada suatu malam yang diberkahi. dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad Dukhan: 3-4).

Malam yang diberkahi dalam ayat ini adalah malam lailatul qadar sebagaimana ditafsirkan pada surat Al Qadar. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.” (QS. Al Qadar: 1)

Keberkahan dan kemuliaan yang dimaksud disebutkan dalam ayat selanjutnya,

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ , تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ , سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْر

“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al Qadar: 3-5). Sebagaimana kata Abu Hurairah, malaikat akan turun pada malam lailatul qadar dengan jumlah tak terhingga (Periksa Zaadul Maysir, 6/179). Malaikat akan turun membawa kebaikan dan keberkahan sampai terbitnya waktu fajar (-idem-, 6/180).

Kedua, lailatul qadar lebih baik dari 1000 bulan. An Nakho’i mengatakan, “Amalan di lailatul qadar lebih baik dari amalan di 1000 bulan.” (Lihat Latho-if Al Ma’arif, hal. 341, Ibnu Rajab Al Hambali, Al Maktab Al Islamiy, cetakan pertama, 1428 H). Mujahid dan Qotadah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan lebih baik dari seribu bulan adalah shalat dan amalan pada lailatul qadar lebih baik dari shalat dan puasa di 1000 bulan yang tidak terdapat lailatul qadar (Periksa Zaadul Maysir, 6/179).

Ketiga, menghidupkan malam lailatul qadar dengan shalat akan mendapatkan pengampunan dosa. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 1901)


Kapan Lailatul Qadar Terjadi?


Lailatul Qadar itu terjadi pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

“Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 2020 dan Muslim no. 1169)

Terjadinya lailatul qadar di malam-malam ganjil itu lebih memungkinkan daripada malam-malam genap, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

“Carilah lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 2017)

Lalu kapan tanggal pasti lailatul qadar terjadi? Ibnu Hajar Al Asqolani telah menyebutkan empat puluhan pendapat ulama dalam masalah ini. Namun pendapat yang paling kuat dari berbagai pendapat yang ada sebagaimana dikatakan oleh beliau adalah lailatul qadar itu terjadi pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan dan waktunya berpindah-pindah dari tahun ke tahun (Lihat Fathul Baari, 6/306, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah). Mungkin pada tahun tertentu terjadi pada malam kedua puluh tujuh atau mungkin juga pada tahun yang berikutnya terjadi pada malam kedua puluh lima, itu semua tergantung kehendak dan hikmah Allah Ta’ala. Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى تَاسِعَةٍ تَبْقَى ، فِى سَابِعَةٍ تَبْقَى ، فِى خَامِسَةٍ تَبْقَى

“Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan pada sembilan, tujuh, dan lima malam yang tersisa.” (HR. Bukhari no. 2021)

Para ulama mengatakan bahwa hikmah Allah menyembunyikan pengetahuan tanggal pasti terjadinya lailatul qadar adalah agar orang bersemangat untuk mencarinya. Hal ini berbeda jika lailatul qadar sudah ditentukan tanggal pastinya, justru nanti malah orang-orang akan bermalas-malasan. (-idem-)


Do’a di Malam Lailatul Qadar


Sangat dianjurkan untuk memperbanyak do’a pada lailatul qadar, lebih-lebih do’a yang dianjurkan oleh suri tauladan kita –Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana terdapat dalam hadits dari Aisyah. Beliau radhiyallahu ‘anha berkata,

قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَىُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا قَالَ : قُولِى اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى

“Katakan padaku wahai Rasulullah, apa pendapatmu, jika aku mengetahui suatu malam adalah lailatul qadar. Apa yang aku katakan di dalamnya?” Beliau menjawab,”Katakanlah: ‘Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu anni’ (Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf yang menyukai permintaan maaf, maafkanlah aku).” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Adapun tambahan kata “kariim” setelah “Allahumma innaka ‘afuwwun …” tidak terdapat satu dalam manuskrip pun. Lihat Tarooju’at no. 25)


Tanda Malam Lailatul Qadar


Pertama, udara dan angin sekitar terasa tenang. Sebagaimana dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْلَةُ القَدَرِ لَيْلَةٌ سَمْحَةٌ طَلَقَةٌ لَا حَارَةً وَلَا بَارِدَةً تُصْبِحُ الشَمْسُ صَبِيْحَتُهَا ضَعِيْفَةٌ حَمْرَاء

“Lailatul qadar adalah malam yang penuh kelembutan, cerah, tidak begitu panas, juga tidak begitu dingin, pada pagi hari matahari bersinar lemah dan nampak kemerah-merahan.” (HR. Ath Thoyalisi. Haytsami mengatakan periwayatnya adalah tsiqoh /terpercaya)

Kedua, malaikat turun dengan membawa ketenangan sehingga manusia merasakan ketenangan tersebut dan merasakan kelezatan dalam beribadah yang tidak didapatkan pada hari-hari yang lain.

Ketiga, manusia dapat melihat malam ini dalam mimpinya sebagaimana terjadi pada sebagian sahabat.

Keempat, matahari akan terbit pada pagi harinya dalam keadaan jernih, tidak ada sinar. Dari Abi bin Ka’ab bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shubuh hari dari malam lailatul qadar matahari terbit tanpa sinar, seolah-olah mirip bejana hingga matahari itu naik.” (HR. Muslim no. 1174) (Lihat pembahasan di Shahih Fiqih Sunnah, 2/149-150, Abu Malik, Maktabah At Taufiqiyyah)

Bagaimana Seorang Muslim Menghidupkan Malam Lailatul Qadar?

Lailatul qadar adalah malam yang penuh berkah. Barangsiapa yang terluput dari lailatul qadar, maka dia telah terluput dari seluruh kebaikan. Sungguh merugi seseorang yang luput dari malam tersebut. Seharusnya setiap muslim mengecamkan baik-baik sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فِيهِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ

“Di bulan Ramadhan ini terdapat lailatul qadar yang lebih baik dari 1000 bulan. Barangsiapa diharamkan dari memperoleh kebaikan di dalamnya, maka dia akan luput dari seluruh kebaikan.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Oleh karena itu, sudah sepantasnya seorang muslim lebih giat beribadah ketika itu dengan dasar iman dan tamak akan pahala melimpah di sisi Allah. Seharusnya dia dapat mencontoh Nabinya yang giat ibadah pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. ‘Aisyah menceritakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan melebihi kesungguhan beliau di waktu yang lainnya.” (HR. Muslim no. 1175)

Seharusnya setiap muslim dapat memperbanyak ibadahnya ketika itu, menjauhi istri-istrinya dari berjima’ dan membangunkan keluarga untuk melakukan ketaatan pada malam tersebut. ‘Aisyah mengatakan,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ ، وَأَحْيَا لَيْلَهُ ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ

“Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan), beliau mengencangkan sarungnya (untuk menjauhi para istri beliau dari berjima’ – Lihat tafsiran ini di Latho-if Al Ma’arif, hal. 332), menghidupkan malam-malam tersebut dan membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhari no. 2024 dan Muslim no. 1174)

Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Aku sangat senang jika memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan untuk bertahajud di malam hari dan giat ibadah pada malam-malam tersebut.” Sufyan pun mengajak keluarga dan anak-anaknya untuk melaksanakan shalat jika mereka mampu. (Latho-if Al Ma’arif, hal. 331)

Adapun yang dimaksudkan dengan menghidupkan malam lailatul qadar adalah menghidupkan mayoritas malam dengan ibadah dan bukan seluruh malam, Pendapat ini dipilih oleh sebagian ulama Syafi’iyah (Lihat Latho-if Al Ma’arif, hal. 329). Menghidupkan malam lailatul qadar pun bukan hanya dengan shalat, bisa pula dengan dzikir dan tilawah Al Qur’an (Lihat ‘Aunul Ma’bud, 3/313, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah). Namun amalan shalat lebih utama dari amalan lainnya di malam lailatul qadar berdasarkan hadits, “Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 1901)


Bagaimana Wanita Haidh

Menghidupkan Malam Lailatul Qadar?

Juwaibir pernah mengatakan bahwa dia pernah bertanya pada Adh Dhohak, “Bagaimana pendapatmu dengan wanita nifas, haidh, musafir dan orang yang tidur (namun hatinya dalam keadaan berdzikir), apakah mereka bisa mendapatkan bagian dari lailatul qadar?” Adh Dhohak pun menjawab, “Iya, mereka tetap bisa mendapatkan bagian. Siapa saja yang Allah terima amalannya, dia akan mendapatkan bagian malam tersebut.” (Latho-if Al Ma’arif, hal. 331)

Dari riwayat ini menunjukkan bahwa wanita haidh, nifas dan musafir tetap bisa mendapatkan bagian lailatul qadar. Namun karena wanita haidh dan nifas tidak boleh melaksanakan shalat ketika kondisi seperti itu, maka dia boleh melakukan amalan ketaatan lainnya. Yang dapat wanita haidh lakukan ketika itu adalah:

1. Membaca Al Qur’an tanpa menyentuh mushaf. (Dalam at Tamhid (17/397, Syamilah), Ibnu Abdil Barr berkata, “Para pakar fiqh dari berbagai kota baik Madinah, Iraq dan Syam tidak berselisih pendapat bahwa mushaf tidaklah boleh disentuh melainkan oleh orang yang suci dalam artian berwudhu. Inilah pendapat Imam Malik, Syafii, Abu Hanifah, Sufyan ats Tsauri, al Auzai, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuyah, Abu Tsaur dan Abu Ubaid. Merekalah para pakar fiqh dan hadits di masanya)
2. Berdzikir dengan memperbanyak bacaan tasbih (subhanallah), tahlil (laa ilaha illallah), tahmid (alhamdulillah) dan dzikir lainnya.
3. Memperbanyak istighfar.
4. Memperbanyak do’a. (Lihat pembahasan di “Al Islam Su-al wa Jawab” pada link http://www.islam-qa.com/ar/ref/26753)


Beri’tikaf Demi Menanti Lailatul Qadar


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau. Inilah penuturan ‘Aisyah (HR. Bukhari no. 2026 dan Muslim 1172). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dengan tujuan untuk mendapatkan malam lailatul qadar, untuk menghilangkan dari segala kesibukan dunia, sehingga mudah bermunajat dengan Rabbnya, banyak berdo’a dan banyak berdzikir ketika itu (Latho-if Al Ma’arif, hal. 338).

Beberapa hal yang bisa diperhatikan ketika ingin beri’tikaf.

Pertama, i’tikaf harus dilakukan di masjid dan boleh di masjid mana saja.

I’tikaf disyari’atkan dilaksanakan di masjid berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid” (QS. Al Baqarah: 187). Demikian juga dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu juga istri-istri beliau melakukannya di masjid, dan tidak pernah di rumah sama sekali.

Menurut mayoritas ulama, i’tikaf disyari’atkan di semua masjid karena keumuman firman Allah di atas (yang artinya) “Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”. Adapun hadits marfu’ dari Hudzaifah yang mengatakan, “Tidak ada i’tikaf kecuali pada tiga masjid yaitu masjidil harom, masjid nabawi dan masjidil aqsho”. Perlu diketahui, hadits ini masih diperselisihkan statusnya, apakah marfu’ (sabda Nabi) atau mauquf (perkataan sahabat).

Kedua, wanita juga boleh beri’tikaf sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istri beliau untuk beri’tikaf. Namun wanita boleh beri’tikaf di sini harus memenuhi 2 syarat: (1) Diizinkan oleh suami dan (2) Tidak menimbulkan fitnah (masalah bagi laki-laki).

Ketiga, yang membatalkan i’tikaf adalah: (1) Keluar masjid tanpa alasan syar’i atau tanpa ada kebutuhan yang mubah yang mendesak (misalnya untuk mencari makan, mandi junub , yang hanya bisa dilakukan di luar masjid), (2) Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan Surat Al Baqarah : 187 di atas.

Keempat, hal-hal yang dibolehkan ketika beri’tikaf di antaranya:

1. Keluar masjid disebabkan ada hajat seperti keluar untuk makan, minum, dan hajat lain yang tidak bisa dilakukan di dalam masjid.
2. Melakukan hal-hal mubah seperti bercakap-cakap dengan orang lain.
3. Istri mengunjungi suami yang beri’tikaf dan berdua-duaan dengannya.
4. Mandi dan berwudhu di masjid.
5. Membawa kasur untuk tidur di masjid.

Kelima, jika ingin beri’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan, maka seorang yang beri’tikaf mulai memasuki masjid setelah shalat Shubuh pada hari ke-21 (sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan keluar setelah shalat shubuh pada hari ‘Idul Fithri menuju lapangan.

Keenam, hendaknya ketika beri’tikaf, sibukkanlah diri dengan melakukan ketaatan seperti berdo’a, dzikir, bershalawat pada Nabi, mengkaji Al Qur’an dan mengkaji hadits. Dan dimakruhkan menyibukkan diri dengan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat. (Pembahasan i’tikaf ini disarikan dari Shahih Fiqih Sunnah, 2/150-158)

Semoga Allah memudahkan kita menghidupkan hari-hari terakhir di bulan Ramadhan dengan amalan ketaatan.

***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

About

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More